TAWAKKUL DAN TATHOYYUR
Oleh : Ust. Abu Asma
Dua kata di atas mungkin terasa asing bagi sebagian kita, namun sebenarnya kedua kata itu bukanlah baru atau asing, karena kata itu sering disebut Al-Qur’an dan hadits.
Coba kita lihat !
Kata “ Tawakkul ( التوكل ) “ adalah bentuk masdar dari : توكل – يتوكل yang artinya berserah diri, yang mana kata ini sudah diindonesiakan menjadi “ Tawakkal”, -untuk selanjutnya kata inilah yang akan digunakan-. Sedangkan kata “ Tathoyyur ( التطير ) adalah bentuk masdar dari : تطير – يتطير yang artinya meramal adanya hal-hal yang buruk.
Salah satu tuntutan dan syarat kesempurnaan iman kepada Allah I adalah seseorang harus bertawakkal kepadaNya, sebagaimana firmanNya :
” وعلى الله فتوكلوا إن كنتم مؤمنين ” ( المـائدة :23 )
“ Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”. ( Al-Maaidah ; 23 )
Tawakkal kepada Allah I artinya berserah diri dan bersandar secara total kepada-Nya dalam segala hal yang kita lakukan, setelah kita mengerahkaan segala kemampuan yang kita miliki untuk mendapatkan yang terbaik.
Tawakkal kepada Allah I adalah puncak perwujudan pernyataan seorang mu’min dalam setiap shalatnya :
” إياك نعبد وإياك نستعين ” ( الفاتحـة :5 )
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan “ ( Al-Faatihah ; 5 )
Dan Allah I telah menjadikan tawakkal kepadaNya satu sifat yang paling menonjol dari sifat-sifat orang mu’min, lihatlah firmanNya !
” إنما المؤمنون الذين إذا ذكر الله وجلت قلوبهم وإذا تليت عليهم ءاياته زادتهم إيمانا وعلى ربهم يتوكلون ” ( الأنفــال :2)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal,” ( Al-Anfaal ; 2 )
Semakin kuat iman seseorang kepada Allah I semakin kuat pula tawakkal dia kepadaNya, sebaliknya semakin lemah iman seorang hamba semakin lemah pula tawakkal dia kepadaNya.
Tawakkal kepada Allah I adalah satu perwujudan dari keyakinan seorang mu’min bahwa tidak ada yang dapat memberi manfaat atau keselamatan dan tidak ada yang memberi madarat atau kecelakaan selain Allah I semata.
Salah satu sikap yang bertentangan dengan tawakkal kepada Allah I adalah menyandarkan suatu kejadian baik atau buruk kepada selain Allah I baik itu benda, nama, hari, bulan, binatang dan sebagainya, yang disebut Tathoyyur atau Thiyaroh.
Tathoyyur adalah penyakit yang diderita oleh orang-orang kafir sejak dahulu kala sebagaimana dikisahkan oleh Allah I dalam Al-Qur’an tentang umat Nabi Musa u :
” فإذا جاءتهم الحسنة قالوا لنا هذه وإن تصبهم سيئة يطيروا بموسى ومن معه ألا إنما طائرهم عند الله ولكن أكثرهم لا يعلمون ” ( الأعراف : 131 )
“Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: “Ini adalah karena (usaha) kami”. Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. “ ( Al- A’râf ; 131 )
Masyarakat Arab Jahiliyyah dulu sangat dipengaruhi oleh penyakit Tathoyyur ini, di antara bentuk keyakinan mereka adalah sebagai berikut :
1. Menganggap hari Rabu sebagai hari sial.
2. Menganggap bulan Safar sebagai bulan sial dan penuh marabahaya sehingga mereka enggan bepergian pada bulan ini.
3. Menganggap bahwa suara burung sebagai pertanda kebaikan atau kejelekan, seperti bila mereka mendengar suara burung hantu di atas rumah mereka, mereka berkeyakinan bahwa salah seorang anggota keluarga mereka akan mendapat musibah.
Maka ajaran Islam membantah anggapan-anggapan tersebut, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah r dalam sabdanya :
” لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَر ” ( متفق عليه )
“ Janganlah beranggapan bahwa penyakit menular dengan sendirinya, janganlah menyandarkan kesialan kepada sesuatu, janganlah beranggapan bahwa suara burung hantu merupakan tanda kesialan seseorang, dan janganlah beranggapan bahwa bulan Safar adalah bulan sial “ ( H. R. Bukhori Muslim )
Dalam hadits ini Rasulullah membantah seluruh kepercayaan masyarakat Arab pada masa Jahiliyah, dan Beliau menjelaskan kepada umatnya bahwa Allah I lah yang menjadikan segala sesuatu baik atau buruk dengan kekuasaanNya, dan Allah I tidak menjadikan sesuatu sebagai tanda akan terjadinya apa yang Allah I inginkan.
Penyakit Tathoyyur ini bila dibiarkan akan menggerogoti keimanan seseorang dan akan menjerumuskannya ke jurang kemusyrikan, karena : Pertama, menandakan berserahdirinya seseorang kepada selain Allah I. Kedua, menganggap ada makhluq yang mampu bisa menyelamatkan (memberi manfaat) dan mencelakakan (memberi madarat).
Maka pantaslah bila Rasulullah r dengan keras mengingatkan umatnya akan bahaya tathoyyur ini :
” الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ ( ثَلَاثًا ) وَمَا مِنَّا إِلَّا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّل ” ( رواه أحمد و أبو داود )
“ Thiyaroh itu syirik, thiyaroh itu syirik ( 3 kali ) dan itu bukanlah dari (sunnah) kami, akan tetapi Allah I menghilangkannya dengan tawakkal “ ( H. R. Ahmad dan Abu Daud )
Apabila kita perhatikan masyarakat muslim kita sekarang ini, kita dapatkan bahwa kepercayaan-kepercayaan (Thiyaroh) ini masih banyak mempengaruhi kehidupan mereka, masih banyak yang menganggap hari Rabu -walau di bulan tertentu saja- adalah hari yang penuh bahla, juga masih banyak yang enggan melangsungkan acara pernikahan di bulan Safar, juga masih banyak di kita yang percaya pada suara-suara burung dan kepercayaan-kepercayaan lainnya, ini tentu saja harus segera kita singkirkan dan kita kikis habis sampai ke akar-akarnya, agar kita bisa memurnikan aqidah dan iman kita dari segala noda-noda syirik.
Wallaahu A’lam.
Referensi :
- Al-Irsyaâd ilâ Shahiihil I’tiqâd karya DR. Shalih Al- Fauzân, Dâr Ibnu Khuzaimah Riyadh, th. 1997 M
- Fathul Bâry Syarh Shahîh al Bukhary karya Ibnu Hajar al- ‘Asqalaany, Dâr Ar-Royyaan lit-Turaats Kairo th. 1987 M
- Fathul Majîd Syarh Kitâb al-Tauhîd karya Abdurrahmaan bin Hasan, Dâr ‘Alam Al-Fawâid Mekkah th. 1420 H
- Taisîr al- ‘Azîz al- Hamîd karya Sulaiman bin Abdilllah, al-Maktabul Islâmy Beirut th. 1970