NAMA DAN GELAR SALAF[1]
Salaf memiliki banyak nama, di mana setiap nama tersebut menunjukkan karakter yang dimilikinya. Di antara nama-nama tersebut akan dijelaskan berikut ini.
1. AHLUS- SUNNAH WAL- JAMA’AH
Sunnah Secara Etimologis
Secara etimologis, Sunnah berarti cara dan tingkah laku baik ataupun buruk.[2]Arti ini ada dalam hadits yang berbunyi:
“مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ”
“Barang siapa melakukan perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengerjakannya setelah itu, tanpa mengurangi pahala mereka sama sekali. Dan barang siapa yang melakukan perbuatan jelek dalam Islam, maka ia akan mendapat dosanya dan dosa orang-orang yang mengerjakannya setelah itu, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.”
Sunnah dalam Syari’at
Dalam syari’at, yang dimaksud dengan sunnah adalah seluruh perintah, larangan dan anjuran Nabi r, baik secara lisan maupun melalui perbuatan yang tidak didapatkan dalam Al-Qur’an. Jadi, bila disebut dalil-dalil syari’at, maka yang dimaksud adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sunnah Secara Terminologis
Arti sunnah secara terminologis berbeda-beda sesuai dengan perbedaan disiplin ilmu.
Para ulama hadits membahas Rasulullah r dari aspek pribadi beliau sebagai pemimpin, pemberi petunjuk dan teladan, lalu mereka menukil semua yang berhubungan dengan beliau, baik tingkah laku, budi pekerti, sifat, perkataan maupun perbuatan, baik yang bekonsekuensi hukum syar’i maupun tidak.[3] Maka yang dimaksud dengan sunnah menurut mereka adalah, semua yang datang dari Nabi r, baik perkataan, perbuatan, persetujuan, sifat pribadi maupun akhlak, baik sebelum diangkat menjadi nabi, maupun setelahnya. Dengan demikian, sunnah sama artinya dengan hadits.
Semenatara ulama ushulfiqih membahas Rasulullah r dalam kapasitasnya sebagai seorang pembuat syari’at, yang menetapkan kaidah-kaidah untuk para mujtahid dan menjelaskan pedoman hidup manusia. Maka mereka memusatkan perhatian kepada perkataan, perbuatan dan persetujuan beliau yang menetapkan dan menegaskan hukum.[4] Sehingga mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sunnah adalah segala yang bersumber dari Rasulullah r selain Al-Qur’an,[5] yang mencakup perkataan, perbuatan, persetujuan, tulisan, isyarat, keinginan dan keengganan beliau.[6]
Selanjutnya para ulama fiqih membahas perkataan dan perbuatan beliau yang berkonsekuensi hukum: wajib; haram; mubah dan lain-lain.[7] Mereka mengatakan bahwa semua yang didapatkan dari Rasulullah r yang tidak termasuk dalam fardhu atau wajib, adalah contoh yang harus diikuti.[8]Dengan demikian, menurut mereka, sunnah semakna dengan mandub atau mustahab (sesuatu yang dianjurkan).
Mungkin pula kata sunnah dipergunakan oleh para ahli fiqih untuk menyebut lawan bid’ah.[9]Seperti ungkapan: “Si fulan di atas sunnah”, bila dia berbuat sesuai dengan perbuatan Rasulullah r dan para Sahabat y.
Mungkin pula kata “sunnah” dimaksudkan untuk menyebut Islam secara umum yang mengandung semua ilmu yang bermanfaat dan amal salih yang diajarkan oleh Rasulullah r. Seperti perkataan Barbahari: “Ketahuilah bahwa Islam adalah sunnah, dan sunnah adalah Islam…[10]
Arti lain dari sunnah adalah aqidah yang benar yang dipegang oleh Rasulullah r dan para Sahabat y.
Pengertian Istilah Ahlus-Sunnah
Ahlus-Sunnah memiliki makna umum dan makna khusus. Secara umum, Ahlus-Sunnah adalah lawan dari Rafidhah (Syi’ah). Artinya, semua kelompok yang menisbatkan diri kepda Islam, selain Syi’ah. Dengan makna ini, menjadi tepat pembagian kaum Muslimin menjadi dua kelompok: Sunni dan Syi’ah.
Adapun secara khusus, yang dimaksud Ahlus-Sunnah adalah lawan ahli bid’ah dan kelompok-kelompok baru seperti Khawarij, Syi’ah, Jahmiyyah, Mu’tazilah, Murj-iah, Asy’ariyyah, Shufiyah dan lain-lain. Mereka semua tidak termasuk Ahlus-Sunnah dalam makna khusus.[11]
Pengertian Jama’ah
Secara etimologis “Jama’ah” berarti berkumpul dan lawan dari furqah (bercerai-berai). Mungkin pula ungkapan Jama’ah digunakan untuk menyebut para Sahabat, Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka sampai hari kiamat, karena mereka berkumpul di atas kebenaran yang terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Juga karena mereka berkumpul bersama para pemimpin kaum Muslimin yang adil, dengan tetap melaksanakan kewajiban memberi nasihat, berjihad dan bernaung di bawah panji mereka, walaupun mereka berbuat zalim dan menyimpang, sebagaimana sabda Rasulullah r:
“عَلَيْكُمْ بِالجْمَاعَةِ فإن يَدَ اللَّهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ”
“Kalian harus bersama Jama’ah, karena Tangan Allah bersama Jama’ah “[12]
Dan ketika beliau ditanya tentang kelompok yang selamat, beliau menjawab: “Mereka adalah jama’ah”.
Para ulama berbeda pendapat tentang makna “Jama’ah” dalam hadits ini. Di antara pendapat-pendapat itu, lima yang paling terkenal akan dipaparkan sebagai berikut:[13]
Pertama, mayoritas kaum Muslimin, termasuk di dalamnya dan yang paling utama adalah para ulama dan ahli ijtihad.
Kedua, kelompok ahli ijtihad saja. Ini adalah pendapat al- Bukhari[14] dan Tirmidzi.[15]
Ketiga, para Sahabat secara khusus.
Keempat, semua kaum Muslimin, bila mereka bersepakat, yang biasa disebut Ijma.
Kelima, seluruh kaum Muslimin yang sepakat dengan seorang amir, maka tidak boleh menyelisihi kesepakatan mereka. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh ath-Thabari.[16]
Dari sini tampaklah makna Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, yaitu yang memenuhi empat kriteria: 1) meneladani Rasulullah r dan para Sahabatnya; 2) bersepakat di atas kebenaran yang terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah; 3) berkumpul di bawah kepemimpinan seorang pemimpin kaum Muslimin; dan 4) berjalan di atas manhaj orang-orang yang mengikuti agama Allah yang dibawa oleh Rasulullah r dan dipegang oleh para Sahabat, Tabi’in dan Tabi’it- Tabi’in.
2. AHLUL- HADIITS (AHLI HADITS)
Mereka adalah orang-orang yang menjadikan sunnah Nabi sebagai sumber ilmu dan amal.
Imam Ahmad berkomentar tentang ath- Thaaifatul- Manshuurah (kelompok yang mendapat pertolongan): “Seandainya mereka itu bukan ahli hadits, maka aku tidak tahu siapa mereka.”[17]
Begitu pula ‘Abdullah ibnul- Mubarak memberikan komentar yang sama: “Menurut saya mereka itu adalah ahli hadits.”[18]
Selanjutnya Ibnu Taimiyah berkata: “Yang kita maksud dengan ahli hadits bukanlah orang-orang yang hanya mendengar, menulis dan meriwayatkan saja, tetapi yang paling berhak menghafalnya, mengetahui dan memahami serta mengikutinya secara lahir maupun batin, begitu pula yang dimaksud dengan ahli Qur’an. Dan sifat yang paling minimal pada mereka mencintai Al-Qur’an dan Al-Hadits, mencari dan mempelajari maknanya serta mengamalkan apa-apa yang dituntut oleh keduanya…”[19] Mereka adalah orang yang paling tahu tentang segala perkataan dan gerak-gerik Rasulullah r, paling mampu membedakan antara yang shahih dan yang dha’if. Para ahli hadits adalah orang-orang yang paling paham terhadap hadits, paling tahu maknanya dan mengikutinya dengan keyakinan, pengamalan dan kecintaan, serta mencintai orang-orang yang mencintainya dan membenci serta memusuhi orang-orang yang memusuhinya.[20]
Imam Ahmad berkata:
“Agama Nabi Muhammad adalah Al-Hadits
Sebaik-baik kendaraan bagi manusia adalah Al-Hadits
Janganlah membenci Al-Hadits dan ahlinya
Karena akal bagaikan malam dan Al-Hadits bagaikan siangnya.”[21]
As-Safarini berkata:
“Ketahuilah –semoga engkau mendapat petunjuk- kabar telah datang
Dari Nabi, manusia terbaik yang harus menjadi penerang
Bahwa umat ini akan tercabik-cabik
Menjadi lebih tujuh puluh golongan yang tercabik
Yang benar adalah yang mengikuti jalan Nabi yang terpilih
Dan para Sahabatnya yang tidak menyimpang dan berselisih
Pernyataan ini secara pasti tidak disematkan
Selain kepada ahli hadits yang bertahan”[22].
3. AS- SAWAADUL- A’ZHAM
(MAYORITAS)
Maksud sebutan ini adalah bahwa Rasulullah r dan para Sahabatnya adalah kelompok mayoritas pemegang teguh kebenaran yang diturunkan oleh Allah I. Maka wajib menjadikan mereka teladan dalam kebenaran dan memegang teguh manhaj mereka.
Rasulullah r bersabda:
“إِنَّ اللَّهَ لَا يَجْمَعُ أُمَّتِي عَلَى ضَلَالَةٍ وَيَدُ اللَّهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ”
“Sesungguhnya Allah tidak akan menyatukan umatku dalam kesesatan. Dan Tangan Allah bersama jama’ah “[23]
4. AL- FIRQATUN- NAAJIYAH
(KELOMPOK YANG SELAMAT)
Dikatakan selamat karena mereka tidak termasuk orang-orang yang mendapat ancaman dalam sabda Rasulullah r:
“افْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَإِحْدَى وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ”
“Orang-orang Yahudi terpecah menjadi 71 kelompok, satu di antara mereka di surga dan 70 di neraka. Orang-orang Nasrani terpecah menjadi 72 kelompok, satu di antara mereka di surga dan 71 kelompok di neraka. Dan demi Allah Yang jiwa Muhammad ada di Tangan-Nya, umatku akan terpecah menjadi 73 kelompok, satu di antaranya di surga dan 72 kelompok di neraka.”[24]
Seluruh kelompok terkena ancaman neraka, sedangkan kelompok yang satu ini terbebas dari ancaman tersebut secara umum, walaupun sebagian dari mereka mungkin terkena ancaman lain, selain ancaman yang diakibatkan oleh perpecahan.
5. AL-THAAIFATUL- MANSHUURAH
(KELOMPOK YANG MENDAPATKAN PERTOLONGAN)
Dinyatakan mendapat pertolongan karena dua kemungkinan: Pertama, karena Allah I menolong, menguatkan serta memenangkan mereka atas orang-orang yang mendukung bid’ah, kebatilan dan kekufuran. Kedua, karena mereka menolong, membela dan melestarikan kebenaran.
Kedua kemungkinan makna tersebut di atas tidaklah bertentangan atau berlawanan.
Termasuk dalam makna ini adalah sabda Rasulullah r:
“إِذَا فَسَدَ أَهْلُ الشَّامِ فَلَا خَيْرَ فِيكُمْ لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي مَنْصُورِينَ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ”
“Bila penduduk Syam telah rusak, maka tidak ada kebaikan bagi kalian. Tetapi akan selalu ada satu kelompok dari umatku yang mendapat pertolongan, tidak akan dicelakakan oleh orang-orang yang mencelakakan mereka, sampai datang hari kiamat.”[25]
6. AL-GHURABA’
(ORANG-ORANG ASING)
Maksudnya adalah, bahwa jumlah mereka di akhir zaman hanya sedikit di tengah-tengah umat Islam, tetapi mereka memiliki kekuatan dan kejayaan, sebagaimana para Sahabat Rasulullah r di masa-masa awal Islam berjumlah sedikit, tetapi mereka memiliki kekuatan dalam kebenaran dan kesempurnaan dalam memegang teguh Islam.
Keterasingan mereka ini disinyalir oleh Rasulullah r dalam sabdanya:
“بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ”
“Mula-mula Islam itu asing, dan akan kembali asing seperti semula. Maka berbahagialah orang-orang yang asing itu.”[26]
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa para Sahabat bertanya: “Siapakah mereka itu wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab: “Orang-orang yang memperbaiki di saat orang lain merusak.”
Dalam riwayat lain, beliau menjawab: “Orang-orang yang memperbaiki kerusakan yang dibuat manusia.”
Dalam riwayat lainnya, beliau menjawab: “Orang-orang yang menghidupkan Sunnahku setelah kepergianku, dan mengajarkannya kepada orang lain.”
[1] Makalah ini merupakan terjemahan bebas dari kitab al-Mukhtashar al-Hatsîts, karya Syaikh ‘Îsâ Mâlullâh Faraj, (Kuwait: Gheras, 1428 H), hal. 29-37
[2] . Ibn al-Atsiir, al-Nihaayah fii Ghariib al-Hadiits, juz II, hal. 409 dan al-Mishbaah al-Muniir, hal. 292.
[3]. As- Sunnah Qablat- Tadwiin, Dr. Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, hal. 15.
[4] . ibid.
[5] . Al-Faqiih wal- Mutafaqqih, al-Khathib al-Baghdadi, hal 86.
[6] . Jaami’ul- ‘Uluum wal- Hikam: II/121.
[7] . As-Sunnah Qablat- Tadwiin, hal. 16.
[8] . ibid, hal. 18
[9] . Irsyaadul- Fuhuul, asy- Syaukani, hal. 31.
[10] . Syarhusl- Sunnah, aAl-Barbahari, hal. 21.
[11] . Manhajul- Istidlaal, Dr. ‘Utsman bin ‘Ali Hasan: I/28-48.
[12] . H.R. Tirmidzi, dishahihkan oleh al- Albani dalam Shahiihul- Jaami’, no. 3621.
[13] . Al-I’tishaam, asy- Syathibi, II/260-265 dan Fathul- Baarii: XIII/316.
[14] . Lihat dalam Shahiihul- Bukhari, Kitab “al-I’tishaam“, bab “Kadzaalika Ja’alnaakum Ummatan Wasatan”
[15] . Lihat Sunanut- Tirmidzi: VI/335.
[16] . Lihat Fathul- Baarii: XIII/37.
[17] . Syaraf Ashhaabil- Hadiits, al-Baghdadi, hal. 25, no. 24.
[18] . ibid, hal. 26, no. 47.
[19] . Majmu’ Fataawaa: IV/95.
[20] . ibid, juz III, hal. 347.
[21] . Jaami’ Bayaanil-‘Ilmi wa Fadhlih, Ibn ‘Abd al-Barr: II/43.
[22] . Lawaami’ al-Anwaar al-Bahiyyah: I/74-76.
[23] . H.R. Tirmidzi dan yang lain dan dishahihkan oleh al- Albani dalam Shahiihul- Jaami’, no. 1844.
[24] . H.R. Ibnu Majah, no. 3992 dan dishahihkan oleh al- Albani dalam Shahiihul- Jaami’, no. 1082.
[25] . H.R. Ahmad dan Tirmidzii. Dia mengatakan bahwa Hadits ini hasan shahih, juga dishahihkan oleh al- Albani dalam as- Silsilatus- Shahiihah, no. 403.
[26] . H.R. Muslim, no. 145.