MENINGGALKAN ILMU KALAM DAN TA’WIL[1]

Berpaling dari Al-Qur’an dan menta’wil dengan dasar ilmu kalam adalah penyebab terbesar terjadinya kesesatan, terutama dalam masalah akidah.
A. BERPALING DARI AL-QUR’AN
Maksudnya enggan mentadabburi Al-Qur’an dan As-Sunnah Rasulullah r, dan menyibukkan diri dengan filsafat orang-orang Yunani dan logika yang bermacam-macam. Dalam hal ini Allah I berfirman:

كَذَلِكَ نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنبَاء مَا قَدْ سَبَقَ وَقَدْ آتَيْنَاكَ مِن لَّدُنَّا ذِكْراً. مَنْ أَعْرَضَ عَنْهُ فَإِنَّهُ يَحْمِلُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وِزْراً. خَالِدِينَ فِيهِ وَسَاء لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حِمْلاً

“Demikianlah kami kisahkan kepadamu (Muhammad) sebagian kisah umat yang Telah lalu, dan Sesungguhnya telah kami berikan kepadamu dari sisi kami suatu peringatan (Al-Quran). Barangsiapa berpaling dari pada Al-Qur’an Maka Sesungguhnya ia akan memikul dosa yang besar di hari kiamat. Mereka kekal di dalam keadaan itu. dan amat buruklah dosa itu sebagai beban bagi mereka di hari kiamat”. (Q.S. Thaa Haa: 99-101)
Al-Qur’an yang berisikan berita-berita yang terdahulu dan yang akan datang, peringatan tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah I yang sempurna dan peringatan tentang hukum-hukum perintah dan larangan serta balasan. Yang harus disikapi dengan penerimaan, penyerahan diri, ketundukan dan pengagungan, cahanya dijadikan petunjuk menuju jalan yang lurus dan harus dipelajari dan diajarkan dengan antusias.
Adapun tidak mau mengikuti perintah dan tuntutannya, atau mencari petunjuk dari yang lain adalah kufur terhadap nikmat diturunkannya Al-Qur’an. Orang yang melakukannya pantas menerima azab Allah I.
“من أعرض عن ذكري” maksudnya tidak beriman kepada Al-Qur’an, atau meremehkan perintah dan larangannya, atau tidak mempelajari makna-maknanya yang wajib, maka فإنه يحمل يوم القيامة وزرا (Sesungguhnya ia akan memikul dosa yang besar di hari kiama) yaitu dosa yang disebabkan berpaling dari Al-Qur’an, mengingkari dan menjauhinya. خالدين فيه (Mereka kekal di dalam keadaan itu) maksudnya kekal dalam dosa mereka, karena keburukan yang dilakukan seseorang akan berubah menjadi siksa atas dirinya, kecil maupun besar. Ini adalah umum bagi setiap orang yang sampai kepadanya Al-Qur’an, baik orang Arab maupun bukan Arab, ahli kitab dan yang lainnya.
Allah I berfirman:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى . قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنتُ بَصِيراً. قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنسَى. وَكَذَلِكَ نَجْزِي مَنْ أَسْرَفَ وَلَمْ يُؤْمِن بِآيَاتِ رَبِّهِ وَلَعَذَابُ الْآخِرَةِ أَشَدُّ وَأَبْقَى

“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. Berkatalah ia: “Ya Tuhanku, Mengapa Engkau menghimpunkan Aku dalam keadaan buta, padahal Aku dahulunya adalah seorang yang melihat?” Allah berfirman: “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat kami, Maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari Ini kamupun dilupakan”. Dan Demikianlah kami membalas orang yang melampaui batas dan tidak percaya kepada ayat-ayat Tuhannya. dan Sesungguhnya azab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal”. (Q.S. Thaa Haa: 124-127)
Allah I mengabarkan bahwasannya Dia memerintahkan Iblis dan Adam u untuk turun ke bumi, dan Dia I akan menurunkan kitab-kitab dan mengutus rasul-rasul yang menjelaskan tentang jalan lurus untuk sampai kepada-Nya dan surga-Nya. Dia I juga menjelaskan sikap yang wajib terhadap kitab yang diturunkan, siapa yang mengikuti perintahnya dan menjauhi larangannya pasti tidak akan tersesat dan sengsara di dunia dan akhirat, di tunjukkan ke jalan yang lurus di dunia dan akhirat, serta mendapatkan kebahagiaan dan ketentraman di akhirat.
“ومن أعرض عن ذكري” maksudnya kitab-Ku yang memperingatkan seluruh tujuan mulia, yang meninggalkannya dengan sikap berpaling, atau lebih dari itu dengan cara mengingkari atau kufur kepadanya. “فَإن له معيشة ضنكا ” artinya,bahwa balasannya adalah kehidupannya menjadi sempit dan sulit yang merupakan siksaan tersendiri bagi mereka.
Ada ahli tafsir yang menafsirkan “معيشة ضنكا” dengan azab kubur, artinya kuburannya menyempit, dia dikurung dan disiksa di dalamnya, sebagai balasan atas pengingakarannnya. Ini adalah salah satu ayat yang menunjukkan adanya azab kubur.
Ahli tafsir yang lain menafsirkan “معيشة ضنك” bermakna umum, mencakup segala penderitaan yang menimpa kita di dunia, berupa kegalauan, kesedihan, dan penyakit. Tidak ada ketenangan dan kelapangan dada, karena dadanya sempit dan sesak akibat kesesatannya, walaupun ia nampak besenang-senang, memakai pakaian apa saja yang disukainya, menikmati makanan apa saja yang diinginkannya dan tinggal di mana saja sesuka hatinya, tetapi sebenarnya ia sengsara hatinya, karena tidak mempunyai keyakinan dan mendapat petunjuk.
Allah I berfirman:

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن ذُكِّرَ بِآيَاتِ رَبِّهِ ثُمَّ أَعْرَضَ عَنْهَا إِنَّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ مُنتَقِمُونَ

“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, Kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa”. (Q.S. As-Sajdah: 22)
Artinya tidak ada yang lebih zalim daripada orang yang diberi peringatan dan mendapatkan penjelasan tentang ayat-ayat-Nya, tapi dia meninggalkannya, mengingkari dan berpaling darinya serta berpura-pura melupakannya seakan tidak pernah mengetahuinya.
B. TA’WIL
Makna Ta’wil Secara Etimologis
Materi Ta’wil (التأويل) adalah Aala (آل) yang memiliki beberapa arti, di antaranya:
1. Tempat kembali, sumber dan akhir sesuatu.[2]
2. Tafsir. Ath-Thabari berkata: “Adapun makna ta’wil dalam bahasa Arab adalah tafsir dan tempat kembali.[3]Al-Laits berkata: “Ta’wil adalah penafsiran kalimat yang berbeda-beda artinya.[4]
3. Melaksanakan perintah. Seperti perkataan ‘Aisyah: “Adalah Rasulullah r dalam sujudnya membaca: “سبحان ربي الأعلى”, beliau menta’wil Al-Qur’an, maksudnya melaksanakan perintah Allah I:

إِذَا جَاء نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ . وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجاً. فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّاباً

“Apabila Telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya dia adalah Maha Penerima taubat”. (Q.S. An-Nahsr: 1-3)
Makna Ta’wil Menurut Salaf
Dalam pandangan Salaf, ta’wil mempunyai dua arti:
1. Akhir dan kenyataan akhir sebuah urusan. Makna ini yang umumnya dipergunakan dalam Al-Qur’an, seperti dalam perkataan Yusuf u:

وَقَالَ يَا أَبَتِ هَـذَا تَأْوِيلُ رُؤْيَايَ مِن قَبْلُ قَدْ جَعَلَهَا رَبِّي حَقّاً

“Wahai ayahku inilah ta’bir mimpiku yang dahulu itu; Sesungguhnya Tuhanku Telah menjadikannya suatu kenyataan”. (Q.S. Yuusuf 100)
2. Tafsir dan penjelasan pembicaraan. Seperti dalam do’a Nabi r untuk Ibnu ‘Abbas t:

“اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ”

“Ya Allah! Pahamkanlah dia dalam agama dan ajarkan kepadanya tafsir”.[5]
Ta’wil Menurut Para Ahli Ushul Fiqh
Adalah mengalihkan lafazh dari kemungkinan makna yang lebih kuat ke makna yang lemah karena tuntutan akal.[6]
Ta’wil yang benar[7] adalah yang sesuai dengan makna nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, bila tidak demikian, berarti ta’wil tersebut salah.[8]
Beberapa Peringatan[9]:
1. Yang membedakan antara ta’wil yang benar dan yang salah adalah, bahwa yang benar pasti sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, sedangkan yang salah adalah yang bertentangan dengan keduanya.[10]
2. Wajib memaknai lafaz-lafaz Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan makna yang lebih kuat, kecuali ada dalil yang mengalihkannya ke makna yang lemah.
3. Dalil yang memindahkan lafaz dari makna yang kuat ke makna yang lemah bertingkat-tingkat:
a. Bila kemungkinan itu dekat, maka cukup dengan dalil yang tidak terlalu kuat.
b. Bila kemungkinan itu jauh, maka dibutuhkan dalil yang kuat.
c. Bila kemungkinan itu tidak jauh dan tidak dekat (pertengahan), maka dibutuhkan dalil yang pertengahan.
d. Bila tidak ada dalil yang shahih untuk mengalihkan lafaz ke makna yang lemah itu, maka ta’wil harus ditolak.
Sejarah Munculnya Istilah Ta’wil di Kalangan Ahli Ushul Fiqh
Ta’wil dengan makna yang dimaksud oleh para ahli ushul fiqh muncul pada generasi setelah Salaf, tidak dikenal di kalangan Sahabat dan Tabi’in makna ta’wil, juga pada masa para ahli bahasa terdahulu[11].
Ta’wil muncul di kalangan ahli Kalam dan filsafat, setelah terjadinya pertikaian dan perpecahan di kalangan umat Islam. Orang yang palinh pertama memunculkan istilah ini adalah ar-Razi yang hidup pada abad ketujuh[12].
Kesalahan Para Pendukung Ta’wil
1. Bisa dikatakan bahwa apa yang diyakini oleh Salaf y dalam masalah akidah adalah benar dari Allah I, karena telah ada dan terbutkti dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sedangkan para pendukung ta’wil tidak mampu membuktikan dakwaan mereka dalam menafikan makna nash atau menta’wilnya dengan makna yang jauh.
2. Bila kebenaran berada di pihak para pendukung ta’wil yang menafikan makna-makna nash yang telah terbukti dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka bagaimana mungkin Allah I dan Rasul-Nya serta umat terbaik dari Sahabat dan Tabi’in -yang memaknai nash tanpa ta’wil- menentang kebenaran?[13]
3. Menerima ta’wil menuntut ditempatkannya Salaf di antara dua hal yang keduanya salah[14]:
a. Bahwa Salaf, baik Sahabat maupun Tabi’in, tidak mengetahui kebenaran, dan bahwa makna-makna yang terkandung dalam nash-nash itu salah.
b. Bahwa mereka mengetahui dan memahami kebenaran tetapi mereka menyembunyikannya dan tidak menyampaikannya kepada kaum Muslimin.
4. Para penta’wil berusaha mengetahui makna yang terkandung dalam nash secara rinci dan menundukkannya kepada akal dan perasaan, sehingga mereka tidak memiliki sifat orang-orang yang beriman kepada hal-hal yang gaib.
5. Anda tidak akan menemukan pada para penta’wil pemilahan yang benar antara yang mungkin dita’wil dan yang tidak mungkin dita’wil. Karena apa yang mereka katakan tidak bisa dita’wil sama dengan yang mereka ta’wil, dan sebaliknya, apa yang mereka katakan bisa dita’wil sama dengan yang tidak bisa dita’wil. Dari itu mereka dituntut untuk memilih salah satu dari tiga hal berikut[15]:
a. Beriman kepada semua nash dan meyakini makna yang ditunjukannya, agar sesuai dengan kebenaran secara lafaz dan makna.
b. Mengingkari semua makna yang ditunjukkan oleh nash, agar keluar dari pertentangan, tetapi dengan demikian mereka bergabung dengan orang-orang kafir yang jelas kekufurannya.
c. Membedakan hal-hal tidak boleh dibedakan, lalu mengimani sebagian dan mengingkari sebagian lainnya. Inilah inti pertentangan dan ketidakpastian yang biasa dialami oleh kebanyakan ahli Kalam.
6. Tidak satu pun kelompok yang mendukung ta’wil mempunyai timbangan untuk menolak makna nash, kecuali apa yang telah mereka jadikan prinsip dan yakini sebagai madzhab, sehingga mereka menolak semua yang bertentangan dengannya walaupun jelas dan kuat dalilnya:
a. Orang-orang Syi’ah telah menjadikan permusuhan kepada para Sahabat sebagai prinsip mereka, lalu mereka menolak semua nash yang menunjukkan keutamaan para Sahabat dan keridaan Allah I kepada mereka.
b. Orang-orang Jahmiyyah menjadikan penafian tasybiih (persamaan Allah dengan makhluk) dan tajsiim (penjelmaan Allah) sebagai prinsip, lalu mereka menolak semua nash yang menetapkan sifat-sifat Allah I yang sempurna.
c. Orang-orang Qadariyyah menjadikan keadilan sebagai prinsip mereka, lalu menolak semua nash yang menunjukkan ketentuan dan kehendak Allah I. Sebaliknya orang-orang Jabariyyah menjadikan ketentuan dan kehendak Allah I sebagai prinsip, lalu mereka menolak semua nash yang menunjukkan kemampuan makhluk untuk berikhtiar, hikmah dan keadilan Allah I.
d. Orang-orang Wa’iidiyyah menjadikan prinsip mereka kepastian dilaksanakannnya ancaman Allah I dan orang yang masuk nereka tidak akan keluar lagi, lalu mereka mereka menolak semua nash tentang janji Allah I, pemberian maaf, syafa’at dan lain-lain.
7. Termasuk kerancuan ta’wil adalah, bahwa anda dapatkan setiap penta’wil menuntut orang yang memungkirinya sebagaimana tuntutan orang yang memungkirinya dari mereka.
8. Cara al-Ghazali dalam menguatkan madzhab Salaf tentang meninggalkan ta’wil, dalam bukunya Iljaamul ‘Awaam ‘an ‘Ilmil Kalaam, yang mungkin termasuk karyanya yang terakhi. Dalam bukunya itu ia berkata: “Adapun bukti yang menyeluruh akan kebenaran pada madzhab Salaf, dengan cara menerima empat prinsip yang bisa diterima oleh setiap orang yang berakal, yaitu:
a. Bahwasannya Nabi r adalah orang yang paling tahu tentang kebaikan manusia di dunia dan akhirat.
b. Bahwasannya beliau r telah menyampaikan semua yang diwahyukan kepadanya untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat, tidak ada yang disembunyikan. Dan bahwasannya beliau adalah orang yang gigih berjuang memperbaiki manusia dan menunjukkan mereka kepada kebaikan dunia dan akhirat.
c. Bahwasannya orang yang paling tahu makna, hakikat dan rahasia perkataan Rasulullah r, adalah orang-orang yang selalu bersamanya, menyaksikan turunnya Al-Qur’an dan mengetahui tafsirnya. Mereka itu adalah para Sahabat Rasulullah r.
d. Bahwasannya para sahabat dengan rentang masa yang lama sampai akhir generasi tersebut, tidak pernah mengajak orang untuk menta’wil. Seandainya ta’wil itu bagian dari agama, niscaya mereka antusias kepadanya siang dan malam, dan pasti mereka mengajarkannya kepada anak istri mereka.”
Kemudian ia berkata: “Dari keempat prinsip ini kita ketahui dengan yakin bahwa kebenaran itu ada pada perkataan dan pendapat Salaf”[16].
9. Para penta’wil berkata: “Makna yang langsung dipahami dari nash-nash tentang sifat-sifat Allah adalah penjelmaan dan penyerupaan Allah I dengan makhluk”[17]. Padahal kebenaran yang tidak diragukan dalam hal ini adalah, bahwa yang langsung dipahami dari setiap sifat Allah I yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, tidak ada keserupaan Allah I dengan seluruh makhluk-Nya.
10. Bencana yang ditimbulkan oleh ta’wil adalah tercabik-cabiknya umat Islam, berselisih dalam dasar-dasar agama mereka, saling melaknat, saling mengkafirkan, pertumpahan darah dan penganiayaan terhadap jiwa, harta dan kehormatan. Pemberontakan orang-orang Khawarij, penyempalan orang-orang Mu’tazilah dan penolakan orang-orang Syi’ah adalah akibat ta’wil. Begitu pula terjadinya peperangan yang dikobarkan orang-orang murtad, terbunuhnya Utsman bin ‘Affan t, perang Shiffin, perang Jamal, penyerangan Ka’bah pada masa Abdullah bin Zubair dan yang dilakukan oleh orang-orang Qaramithah, semuanya tidak terjadi kecuali karena ta’wil. Demikian pula dengan hukuman yang diderita oleh Imam Malik dan Imam Ahmad dan usaha pembunuhan terhadap mereka, tidak terjadi kecuali karena ta’wil. Juga musibah yang dialami oleh Imam Bukhari sampai dirinya diusir dari negerinya, tidak terjadi kecuali karena ta’wil. Artinya, betapa banyak kejahatan yang dilakukan oleh ta’wil terhadap Islam dan umatnya.
Sikap Salaf terhadap Ta’wil
1. Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah berkata: “Sesungguhnya hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah I sesuai dengan Al-Qur’an, dinukil dari generasi ke generasi, dari sejak Sahabat y dan Tabi’in sampai zaman kita sekarang. Menetapkan sifat-sifat itu dengan pengetahuan dan keimanan, serta menerima secara bulat semua yang dikabarkan Allah I dalam wahyu yang ditiurunkan-Nya dan Rasulullah r dari kitab-Nya, dengan menjauhi ta’wil dan pengingkaran, dan meninggalkan tamtsiil (penyerupaan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk) dan takyiif (mempertanyakan bagaimana sifat-sifat Allah)”[18].
2. Ibnu Taimiyah berkata: “Sesungguhnya semua ayat tentang sifat Allah I yang ada dalam Al-Qur’an, tidak pernah ditemukan para Sahabat berbeda pendapat dalam ta’wilnya. Dan aku telah membaca tafsir-tafsir yang dinukil dari para Sahabat dan yang hadits-hadits yang mereka riwayatkan, dan aku tahu banyak kitab tafsir baik yang besar maupun yang kecil lebih dari seratus tafsir, tetapi sampai saat ini aku belum menemukan seorang Sahabat pun yang menta’wil ayat atau hadits tentang sifat-sifat Allah I. Bahkan mereka mengakui dan meyakini serta menjelaskan bahwa itu semua adalah sifat-sifat Allah I, bertentangan dengan pendapat para penta’wil…”[19]
3. Al-Auza’i berkata: “Kami dan para Tabi’in mengatakan bahwa Allah I di atas ‘arsy, dan beriman kepada sifat-sifat Allah I yang disebutkan dalam As-Sunnah”[20].
Perkataan-perkataan di atas dan banyak lainnya, jelas sekali menunjukkan perhatian para Sahabat dan orang-orang yang mengikutinya dalam akidah yang tetap bersih sebagaimana saat diturunkan ke dalam hati Nabi Muhammad r. Begitu pula cara mereka dalam membantah orang-orang yang menyelisihinya, karena ketika menjelaskan kebenaran harus pula membantah ahli bid’ah, agar kebenaran tidak tercampur dengan kebatilan. Dan ini tidak berarti sibuk dengan polemik atau debat historis, sebagaimana banyak ditudingkan oleh orang-orang yang membenci Salaf.
4. Setelah meriwayatkan hadits tentang sedekah, yang di dalamnya disebut Tangan Kanan Allah I, Abu ‘Isa at-Tirmidzi berkata: “Sungguh banyak komentar ulama tentang hadits ini dan hadits-hadits lain tentang sifat-sifat Allah I, serta turunnya Allah I setiap malam ke langit dunia, mereka mengatakan: “Banyak riwayat shahih dalam masalah ini, maka harus diimani, tidak diangan-angan dan tidak dipertanyakan bagaimana. Begitulah yang diriwayatkan dari Malik bin Anas, Sufyan bin ‘Uyainah dan Abdullah ibnul-Mubarak, semuanya mengatakan: “Pahamilah apa adanya, tanpa mengatakan “bagaimana?”. Begitulah pendapat ulama Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah…”[21].
5. Ibnu Abdil-Barr berkata: “Ahlus-Sunnah sepakat mengakui semua sifat Allah I yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, mengimaninya dan memahaminya dalam makna yang sebenarnya, bukan majaz (kiasan). Tetapi mereka tidak mempertanyakan bagaimana bentuknya dan tidak pula menjadikannya sifat yang terbatas. Sedangkan ahli bid’ah: Mu’tazilah; Jahmiyyah; dan Khawarij meingingkarinya dan tidak memaknainya dengan makna sebenarnya, dan menganggap orang yang mengimaninya telah menyamakan Allah I dengan makhluk. Mereka adalah orang-orang yang menafikan keberadaan Allah I. Yang benar adalah orang-orang yang mengatakan sebagaimana yang dikatakan Al-Qur’an dan As-Sunnah Rasulullah r, yaitu para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah”[22].
6. Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah berkata: “Madzhab kami dan semua ulama kami dari Hijaz, Tuhamah, Yaman, Iraq, Syam dan Mesir adalah menetapkan sifat-sifat Allah I yang ditetapkan oleh-Nya. Kita mengakui dengan lidah kita, meyakini dengan hati kita, tanpa menyamakan wajah Allah I dengan wajah makhluk, Maha Agung Allah I kalau kita menyamakan-Nya dengan makhluk. Maha Suci Allah dari perkataan orang-orang yang menafikan sifat-sifat-Nya, Maha Suci Allah dari ketidakadaan sebagaimana perkataan orang-orang yang mengingkari sifat-sifat-Nya, karena yang tidak mempunyai sifat berarti tidak wujudnya. Maha Suci Allah dari perkataan orang-orang Jahmiyyah yang mengingkari sifat-sifat Allah, padahal Allah sendiri yang menyebutkan dalam Al-Qur’an yang sempurna dan melalui lisan Nabi Muhammad r”[23].
7. Imam Abu Hanifah berkata: “Apa yang disebutkan oleh Allah I dalam Al-Qur’an tentang wajah, tangan dan jiwa, adalah sifat-sifat yang dimiliki-Nya, tidak diketahui bagaimana bentuknya. Juga tidak boleh dikatakan bahwa tangan-Nya berarti kekuasaan-Nya atau ni’mat-Nya, karena itu sama dengan menghilangkan sifat Allah I, yang merupakan pendapat orang-orang Qadariyyah dan Mu’tazilah. Yang benar adalah bahwa tangan-Nya adalah sifat yang tidak diketahui bagaimana bentuknya. Begitu pula marah dan rida adalah dua sifat yang dimiliki-Nya tetapi tidak diketahui bagaimana caranya”[24].
8. Abu Muhammad al-Juwaini –ayah Imam Haramain al-Juwaini– berkata: “Kita menetapkan ketinggian Allah I dan keberadaan-Nya di atas segala sesuatu serta bersemayam-Nya di atas ‘arsy sesuai dengan keagungan-Nya. Kebenaran terlihat jelas padanya, dengan dada lapang kita menerimanya. Dan penyimpangan makna tidak bisa diterima akal sehat, seperti halnya penyimpangan kata استواء (bersemayam) menjadi استيلاء (menguasai) dan sebagainya”[25].
9. Qadhi Abu Ya’la berkata: “Tidak boleh menolak hadits-hadits (tentang sifat-sifat Allah) seperti yang dilakukan oleh orang-orang Mu’tazilah, juga tidak boleh bersusah payah menta’wilnya seperti yang dilakukan oleh orang-orang Asy’ariyyah. Seharusnya hadits-hadits itu dipahami dengan makna yang sebenarnya, bahwa sifat-sifat Allah I tidak menyerupai sifat makhluk dan tidak meyakini adanya kesamaan. Kita mengikuti apa yang diriwayatkan dari guru dan imam kita, Ahmad bin Hanbal dan ulama ahli hadits lainnya”[26].
10. Abdul-Qadir al-Jailaini berkata: “Seharusnya meyakini sifat istiwa’ (bersemayam) secara mutlak tanpa harus menta’wil. Dan bahwa yang dimaksud dengan bersemayam adalah bersemayamnya zat Allah I di atas arsy, tapi tidak boleh diartikan duduk dan adanya sentuhan seperti keyakinan orang-orang Mujassimah dan Karamiyyah. Tidak pula diartikan tinggi seperti pendapat Asy’ariyyah, tidak pula diartikan penguasaan dan kemenangan, seperti pendapat Mu’tazilah, karena syari’at tidak menginginkan demikian. Di samping itu, tidak dikabarkan dari Sahabat dan Tabi’in dan penerus mereka dari kalangan ahli hadits. Yang dinukil dari mereka adalah mengartikannya secara mutlak”[27].
Siapakah Ahli Kalam itu?
Disebut ahli Kalam, karena mereka tidak membawa ilmu baru, hanya menambah perkataan yang kadang tidak bermanfaat, yaitu mereka membuat qiyas (analogi) untuk menjelaskan apa-apa yang telah diketahui perasaan . Akan tetapi qiyas dan sejenisnya bisa dimanfaatkan di tempat lain.
Setiap orang yang berkata dengan akalnya, perasaannya dan kekuasaannya padahal ada nash, atau menentang nash dengan akal, berarti ia menyamani iblis, di mana dia tidak menerima perintah Allah, bahkan ia mengatakan: “Aku lebih baik dari dia. Engkau ciptakan aku dengan Api dan Engkau ciptakan dia dari tanah….”. Dengan demikian Iblis masuk dalam kelompok ahli Kalam. Dan ta’wil termasuk kemunkaran yang paling menonjol setelah penuhanan akal.
Prinsip-prinsip Terpenting Ahli Kalam dalam Menerima Agama
Ahli Kalam mempunyai banyak prinsip dalam akidah dan hukum. Di antaranya:
1. Masalah akidah tidak boleh dibangun kecuali di atas dalil-dalil yang pasti. Kepastian itu didapatkan dari akal, bukan dari dalil naqli, karena di antara dalil naqli ada yang tidak memberikan keyakinan.
Dengan demikian, mereka telah meletakkan dasar akidah dan permasalahn mereka di atas akal”[28].
2. Dimungkinkan terjadinya pertentangan antara akal yang benar dengan dalil naqli shahih.
3. Wajib mendahulukan akal secara mutlak.
4. Dalil naqli tidak menghasilkan ilmu yang meyakinkan.[29]
5. Yang menjadi patokan dalam memaknai lafaz dengan makna yang lemah (jauh) adalah kebenaran maknanya secara bahasa, tanpa mempertimbangkan susunannya[30], atau istilah syar’i, atau mengikuti manhaj Salaf dalam memahami nash-nash dan memaknainya dengan makna yang lebih tepat.
6. Sesungguhnya dalil yang mengalihkan kata dari maknanya yang kuat adalah akal, yaitu makna yang bisa dijangkau oleh akal.
Sikap Ahli Kalam terhada Nash Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Bertentangan dengan Prinsip Mereka.
Pertama, mengingkarinya dengan cara meragukan keshahihannya, apalagi bila dalil itu hadits Ahaad.
Kedua, berpaling dari maknanya, walau dalil itu sudah pasti kebenarannya, seperti ayat Al-Qur’an atau hadits mutawaatir. Ada dua jalan yang mereka tempuh dalam hal ini:
1. Berpaling secara total dengan hati dan akal mereka dan menyerahkan maknanya kepada Allah I, dengan tetap meyakini bahwa makna yang sebenarnya tidak dimaksud. Inilah yang mereka sebut dengan metode Salaf.
2. Merubah kata-kata dari tempatnya dengan mempergunakan bahasa-bahasa yang tidak populer dan macam-macam gaya. Inilah yang mereka sebut dengan ta’wil.
Dengan demikian hakikat madzhab para penta’wil adalah tuduhan bahwa Rasulullah r belum menjelaskan kebenaran kepada umatnya, padahal beliau memerintahkan umatnya untuk mengetahui dan meyakini kebenaran, tetapi beliau tidak menjelaskannya kepada mereka, bahkan menunjukkan mereka kepada apa-apa yang berlawanan dengan kebenaran, dan bahwa nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah mengatakan kekufuran yang nyata, penyerupaan Allah I dengan makhluk dan pengingkaran terhadap Allah I”.[31].
Sikap Salaf terhadap Ahli Kalam
1. ‘Abdur- Rahman bin Mahdi berkata: “Aku masuk rumah Malik bin Anas, saat itu ada seorang laki-laki yang sedang bertanya kepadanya tentang Al-Qur’an dan taqdir. Lalu Malik berkata: “Mungkin kamu pengikut ‘Amr bin ‘Ubaid[32]. Semoga Allah I melaknat ‘Amr, karena dia yang membuat bid’ah Kalam ini. Seandainya ilmu Kalam itu benar-benar ilmu, pasti akan dibicarakan oleh para Sahabat dan Tabi’in, sebagaimana mereka berbicara tentang hukum dan syari’at. Akan tetapi Kalam adalah kebatilan yang mengantarkan kepada kebatilan”[33].
2. Asy- Syafi’i berkata: “Aku tidak melihat orang yang menggunakan ilmu Kalam beruntung. Seandainya seserorang diuji dengan semua dosa yang dilarang oleh Allah I selain syirik, maka itu lebih baik baginya daripada diuji dengan ilmu Kalam”[34].
3. Ishaq bin ‘Isa mengatakan bahwa ia mendengar Malik bin Anas mencela debat dalam agama seraya berkata: “Setiap kali datang kepada kita seorang yang lebih hebat dalam berdebat, pasti dia menginginkan kita menolak apa yang disampaikan oleh Jibril u kepada Nabi r”[35].
4. Syaikh Nashr berkata: “Ini adalah kaidah para pendukung ilmu Kalam, pilar agama mereka adalah debat dan perselisihan, yang tidak pernah ada dalam syara’ dan tidak ada ulama yang mendahului mereka, sehingga dipastikan kesalahan dan kerusakannya”.
5. Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Di antara isi surat yang aku kirimkan kepada al- Mutawakkil, aku katakan bahwa aku bukanlah ahli Kalam dan aku tidak setuju dengan ilmu Kalam dalam masalah ini, kecuali yang ada dalam Kitabullah, atau dalam hadits, atau perkataan Tabi’in. Adapun selain itu maka menggunakan ilmu Kalam adalah perbuatan tidak terpuji”[36].
Dengan perkataan ini terlihat jelas pentingnya menetapi manhaj Salaf dalam memahami nash, sebagaimana kita mengetahui pentingnya membatasi diri dengan lafaz-lafaz yang ada, terutama dalam masalah akidah, dan tidak serampangan menetapkan sesuatu tanpa melihat perkataan para Sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, karena yang demikian itu gerbang menuju kesesatan dan penyesatan.
6. Ketika disebut ahli bid’ah di hadapan Imam Ahmad, ia berkata: “Aku tidak suka seseorang bergaul, berbicara dan berteman dengan mereka, karena semua yang menyukai ilmu Kalam pasti berakhir dalam bid’ah, karena ilmu Kalam tidak pernah menyeru kepada kebaikan. Maka aku tidak suka ilmu Kalam dan membicarakannya serta berdebat dengannya. Ambillah As-Sunnah dan fiqih yang bermanfaat bagi kalian, tinggalkan perdebatan dan perkataan orang-orang yang menyeleweng dan suka berdebat. Kami dapatkan orang-orang sebelum kami tidak menyukai debat dan menjauhi ahli Kalam. Barang siapa mencintai ahli Kalam, niscaya tidak akan beruntung nantinya. Ilmu Kalam tidak akan mengantarkan kepada kebaikan. Semoga Allah I melindungi kami dan kalian dari segala bencana dan menyelematkan kami dan kalian dari kehancuran dengan rahmat-Nya”[37].
7. Imam Ahmad juga mengakatakan bahwa ia mendengar ‘Ali bin al- Madini berkata: “Di antara sunnah yang wajib yang bila tidak diimani oleh seseorang, ia tidak termasuk ahlinya: Sesungguhnya Al-Qur’an adalah pembicaraan Allah I bukan makhluk. Jangan takut untuk mengatakan bahwa Al-Qur’an bukan makhluk, karena pembicaraan Allah adalah I bagian dari Diri-Nya yang bukan makhluk. Jangan berselisih dan berdebat dan janganlah mempelajari ilmu Kalam, karena itu dibenci, orang yang mempelajarinya tidak termasuk Ahlus Sunnah –walaupun dengan ilmu Kalamnya menepati As-Sunnah– sampai ia meninggalkan ilmu Kalam dan beriman kepada As-Sunnah”[38].
8. Asy-Syafi’i berkata: “Saya menetapkan hukum untuk ahli Kalam: dipukul dengan pelepah kurma, dibawa di atas unta, dikelilingkan ke kabilah-kabilah dan diserukan: Ini adalah balasan bagi orang yang meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah dan mengambil ilmu Kalam”[39].
9. Nafi’ berkata: “Ketika kita duduk bersama ‘Abdullah bin ‘Umar, tiba-tiba seorang laki-laki datang dan berkata: “Fulan[40] mengucapkan salam untukmu”. ‘Abdullah menjawab: “Telah sampai berita kepadaku bahwa dia telah berbuat sesuatu yang menyimpang. Bila benar demikian, maka jangan ucapkan salam dariku untuknya. Aku telah mendengar Rasulullah I bersabda: “Sungguh akan terjadi pada umatku perubahan bentuk badan ke badan yang lain dan fitnah (tuduhan tanpa bukti), yaitu pada orang-orang zindiq dan Qadariyyah[41].
Abu Sahl berkata: “Aku pernah berjalan dengan ‘Umar bin Abdul Aziz, ia berkata kepadaku: “Bagaimana pendapatmu tentang orang-orang Qadariyyah?”
Aku jawab: “Menurutku sebaiknya Anda meminta mereka untuk bertaubat, bila tidak mau maka mereka harsu dibunuh”.
“Pendapat saya pun demikian”. Kata Umar[42].
10. Abu Ghalib berkata: “Aku pernah berjalan bersama Abu Umamah, saat itu ia berada di atas keledainya. Ketika sampai di pagar mesjid Damaskus, terlihat kepala-kepala yang ditancapkan. Orang-orang mengatakan bahwa itu adalah kepala orang-orang Khawarij yang dibawa dari Irak. Maka Abu Umamah berkata: “Anjing-anjing neraka, anjing-anjing neraka, anjing-anjing neraka, mayat terburuk di dunia. Berbahagialah orang yang membunuh mereka atau yang mereka bunuh. (Ia mengatakannya tiga kali), kemudian menangis”.
“Kenapa anda menangis?” tanyaku
“Karena sayang kepada mereka. Mereka dulu adalah orang-orang Islam, tapi kemudian keluar”. Kata Abu Umamah seraya membaca:

هُوَ الَّذِيَ أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ في قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاء الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاء تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُواْ الألْبَابِ

“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (Q.S. Ali- ‘Imran: 7)
وَلاَ تَكُونُواْ كَالَّذِينَ تَفَرَّقُواْ وَاخْتَلَفُواْ مِن بَعْدِ مَا جَاءهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُوْلَـئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat”. (Q.S. Ali- ‘Imaran: 105)
“Wahai Abu Umamah! Apakah yang dimaksud itu mereka?”
“Ya”
“Apakah ini pendapatmu atau anda dengar dari Rasulullah r?”
“Sungguh aku lancang, sungguh aku lancang, sungguh aku lancang (bila ini pendapatku). Aku mendengarnya dari Rasulullah r, bukan sekali, atau dua kali, atau tiga kali, atau empat kali, atau lima kali, atau enam kali”.
Abu Umamah meletakkan dua jarinya di kedua telinganya. Lalu berkata: “Bila aku tidak mendengar dari Rasulullah r, maka lebih baik aku diam”. Ia mengatakan itu tiga kali. Kemudian ia membacakan hadits tentang perpecahan Bani Israil menjadi 71 kelompok, satu kelompok di Surga, sisanya di neraka. Dan umat Muhammad r akan berpecah lebih banyak lagi, satu kelompok masuk surga, sisanya masuk neraka.
“Wahai Abu Umamah! Apa yang anda perintahkan kepada kami?”
“Kamu harus bersama kelompok mayoritas”.
“Tapi yang mayoritas itu seperti yang anda lihat”.
“Patuh dan taat adalah lebih baik daripada perpecahan dan kemaksiatan”[43].
Dalam Qashidah Nuuniyyah Ibnu Qayyim berkata:
Pangkal musibah dalam Islam
Adalah ta’wil yang menyeleweng dan kelam
Dialah yang memecah umat menjadi tujuh puluh
Bahkan lebih tiga menurut pendapat yang tak kan luluh
Karenanya diingkari sifat-sifat Allah yang sempurna
Dan mereka lepaskan ‘arsy dari Maha Penyayang Yang Sempurna
Karenanya orang berfatwa tentang surga dan neraka
Tapi fatwa itu bohong dan menyebar malapetaka
Karenanya mereka mengatakan Allah tidak mempunyai sifat
Sejak zaman azali tanpa batas dan saat
Karenanya ada yang berkata bahwa perbuatan-Nya
tanpa tujuan, padahal itu sesuai dengan kebijaksanaan-Nya.


[1] . Makalah ini merupakan terjemahan bebas dari kitab al-Mukhtashar al-Hatsîts, karya Syaikh ‘Îsâ Mâlullâh Faraj, (Kuwait: Gheras, 1428 H), hal. 109-126.
[2] . An-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits, Ibnul Atsir: I/80, lihat pula Taajul ‘Aruus, az-Zubaidi: VII/215.
[3] . Tafsiiruth Thabari: III/184.
[4] . Lisaanul ‘Arab: XI/33.
[5] . H.R. Ahmad dalam al-Musnad: IV/127, sanadnya dishahihkan oleh Ahmad Syakir.
[6] . Raudhatun Naazhir: II/30-31 dan Majmu’ Fataawaa: XVII/401.
[7] . Ta’wil yang benar harus memenuhi emapat syarat: 1) makna lafaz yang dita’wil itu dimungkinkan dalam bahasa Arab; 2) adanya dalil yang menunjukkan makna yang dimaksud; 3) Dibuktikan keshahihan dalil tersebut; 4) dalil shahih tersebut tidak ada yang menentang.
[8] . Contoh ta’wil yang salah adalah ta’wil pada hadits:
“أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ”
“Perempuan mana saja yang menikah tanpa izin walinya, maka pernikahannya batal (tidak sah)”
Perempuan di dalam hadits ini dita’wilkan dengan perempuan yang masih kecil (belum balig)
[9] . Lihat Ma’aalim Ushuulil Fiqh ‘inda Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah, DR. Muhammad bin Husain al-Jizani.
[10] . Lihat Majmu’ Fataawaa: III/67 dan Ash-Shawaa’iqul Mursalah: I/187.
[11]. Lihat kembali pengertian ta’wil menurut ahli bahasa.
[12] . Lihat Asaasut- Taqdiis: 211-222.
[13] . Lihat Majmu’ Fataawaa: V/15-16.
[14] . Lihat Iitsaarul- Haq: 138-139 dan Dzammut- Ta’wiil: Ibnu Quddamah: 11-12.
[15] . Lihat Ash-Shawaaiqul Mursalah: I/228-230.
[16] . Iljaamul ‘Awaam ‘an ‘Ilmil Kalaam: 23-25. Kemungkinan al-Ghazali kembali ke manhaj Salaf dan di akhir masa hidupnya menyibukkan diri dengan ilmu hadits. Saat ia meninggal kitab Shahiihul Bukhari dalam pelukannya.
[17] . Seakan-akan Allah I telah kehabisan kata, sehingga menurunkan kata-kata yang maknanya mengandung kekufuran.
[18] . Dinukil oleh Ibnu Quddamah dalam Dzammut- Ta’wiil, hal. 18, no. 20.
[19] . Majmuu’ Fataawaa: VI/394.
[20] . Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam al-Asma’ wash-Shifaat, hal. 408 dan dishahihkan oleh Ibnu Qayyim dalam Ijtimaa’ul-Juyuusy, hal. 43.
[21] . Sunanut Tirmidzi: III/24, hadits no. 662.
[22] . At-Tamhiid, Ibnu Abdil Barr: VII/145.
[23] . Kitaabut- Tauhiid wa Itsbaati Shifaatir- Rabbi ‘Azza wa Jalla, Ibnu Khuzaimah, hal. 10-11.
[24] . Kitaabul Fiqhi al-Akbar, hal. 185.
[25]. Risaalatun fii Itsbaatil- Istiwaa wal- Fauqiyyah, Abu Muhammad al-Juwaini: I/18.
[26] . Ibthaalut Ta’wiilaat, hal. 4.
[27] . Al-Ghaniyyah: I/50.
[28] . Lihat Majmu’ Fataawaa: XVI/440 dan Dar-u Ta’aarudhil- ‘Aqli wan- Naqli: I/12.
[29] . Satu dalil termasuk qath’i (pasti kebenarannya) atau zhanni (kebenarannya hanya dalam perkiraan kuat) adalah relatif, sangat tergantung kepada siapa yang berdalil, bukan sifat yang melekat pada dalil tersebut, setiap orang yang berakal pasti mengetahuinya. Mungkin terjadi satu dalil dianggap qath’i oleh Zaid tapi zhanni menurut ‘Amr. Dinukil dari Ibnu Qayyim dalam Mukhtasharush- Shawaa’iq, hal. 501.
[30] . Suatu kata mungkin saja bisa dimaknai dengan makna yang jauh dan benar secara bahasa, tetapi bukan pada susunan yang khusus.
[31] . Lihat Dar-u Ta’aarudhil ‘Aqli wan- Naqli: I/202-203 dan Majmu’ Fataawaa: V/17.
[32] . ‘Amr bin ‘Ubaid bin Bab, Abu ‘Utsman al-Bashri, tokoh Mu’tazilah Qadariyyah. Ibnu ‘Ulayyah berkata: “Yang paling pertama mencetuskan ide Mu’tazilah adalah Washil al-Ghazzal, ia didukung oleh ”Amr bin ‘Ubaid, yang meninggal pada tahun 143 H atau 144 H. Miizaanul- I’tidaal: III/279.
[33] . Mukhtasharul- Hujjah ‘ala Taarikil- Mahajjah: I/220.
[34] . Dinukil oleh Ibnu Abi Hatim dalam Manaaqibusy-Syafi’i, hal. 182. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Baththah dalam al-Ibaanah: I/150/A. Muhammad Ibrahim Harun mengatakan dalam Mukhtasharul- Hujjah ‘ala Taarikil- Mahajjah: I/222-223 bahwa sanadnya shahih.
[35] . Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam al-Madkhal ilas-Sunan, hal. 201 dan al-Lalikai dalam as-Sunnah: I/144. Muhammad Ibrahim Harun mengatakan dalam Mukhtasharul-Hujjah ‘ala Taarikil-Mahajjah: I/224-225 bahwa sanadnya shahih
[36] . Diriwayatkan oleh al-Ashbahani dalam Bayaanul-Hujjah: 39/B dan Ibnul- Jauzi dalam Manaaqibul- Imaam Ahmad: I/208, tahqiq Syaikh Muhammad bin Rabi’ al-Madkhali.
[37] . Mukhtasharul-Hujjah ‘ala Taarikil-Mahajjah: I/228 dan Muhammad bin Ibrahim mengatakan bahwa sanadnya shahih. As-Safarini meriwayatkan pula dalam Lawaami’ul-Anwaar al-Bahiyyah: I/109.
[38] . Diriwayatkan oleh al- Lalika-i dalam as-Sunnah: I/165-166 dan sanadnya yang sampai kepada Ibnul-Madini shahih. Namun ia meriwayatkan pula dengan sanad yang sampai kepada Imam Ahmad saja: I/157.
[39] . Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Adabusy-Syafi’i wa Manaaqibuh: I/462 dan Muhammad Ibrahim Harun mengatakan sanadnya shahih sampai ke Imam asy-Syafi’i, Mukhtasharul-Hujjah ‘ala Taarikil-Mahajjah: I/238. Al-Baghawi meriwayatkan pula dalam Syarhus Sunnah: I/218.
[40] . Seorang laki-laki penduduk Syam.
[41] . Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad: II/137, no. 6207 dan Abu Daud, no. 4613. Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim, adz-Dzahabi dan al-Haitsami.
[42] Diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwaththa’: III/93, diriwayatkan pula oleh ad-Darimi dalam “Ar-Radd ‘ala Bisyr al-Marisyi, hal. 567.
[43] . Diriwayatkan oleh Ibnu Zamnin dalam Ushuulus-Sunnah, hal. 222 dan Abdullah bin Ahmad dalam as-Sunnah, hal. 283.

1 Comment

  • jazakallah postingnya…. bermanfaat untuk refernsi tesis.

Comments are closed.

×

 

Bismillah...

Klik kontak kami di bawah ini untuk mengobrol di WhatsApp

× Ada yang bisa kami bantu?