MENGUMPULKAN SEMUA DALIL DALAM SATU MASALAH[1]
Mengumpulkan semua dalil dalam satu masalah diperlukan oleh seorang peneliti, baik dalam masalah akidah maupun masalah hukum, terutama bila tampak ada pertentangan di antara dalil-dalil yang ada. Yang demikian ini akan memberikan gambaran menyeluruh tentang masalah sehingga tidak tampak lagi pertentangan di antara dalil, bahkan satu sama lain saling menguatkan.
Tidak Ada Pertentangan Hakiki antara Dalil-dalil Syar’i.
Hendaknya diketahui bahwa dalil-dalil syar’i selamanya tidak akan bertentangan. Adapun pertentangan yang nampak pada dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah bagi sebagian orang, sebenarnya adalah pertentangan yang nisbi sesuai dengan pemahaman orang perorang, padahal yang sebenarnya pertentangan itu tidak ada.
Pertentangan hakiki antara dalil-dalil syar’i, seperti adanya dua dalil yang saling bertolakbelakang (berlawanan), tidak ada kemungkinan salah satunya menggugurkan yang lain, atau tidak bisa dikompromikan, atau tidak ada benang merah di antara keduanya, yang seperti ini tidak pernah ada. Karena bila ada, berarti sebuah kebodohan dan kelalaian yang tidak mungkin dilakukan oleh orang yang berakal, apalagi oleh Pembuat syari’at Yang Maha Bijaksana.
Dalil untuk pernyataan ini banyak sekali, di antaranya:
Pertama, dari Al-Qur’an. Allah I berfirman:
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيراً
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”. (Q.S. An-Nisaa’: 82)
Ibnu Jarir berkata: “Sesungguhnya Al-Qur’an yang kamu sampaikan kepada mereka adalah dari sisi Allah Pencipta mereka, karena kesesuaian maknanya, kesatuan hukumnya, saling menguatkan satu sama lain, saling bersaksi satu sama lain. Seandainya datang dari selain Allah, niscaya terjadi perbedaan di antara hukum-hukumnya, pertentangan di antara makna-maknanya, sebagiannya menampakkan kesalahan sebagian yang lain.”[2]
Dalam ayat lain Allah I berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Q.S. An-Nisaa’: 59)
Imam asy-Syathibi berkata: “Ayat ini sangat jelas menunjukkan tidak adanya pertentangan dalam syari’at, karena perintah mengembalikan dua orang yang berselisih kepada syari’at bertujuan untuk menghilangkan perselisihan, dan tidak mungkin bisa menghilangkan perselisihan kecuali dengan kembali kepada hukum yang satu. Bila di dalamnya ada pertentangan, tidak mungkin bisa menghilangkan perselisihan. Dan tentu saja itu merupakan perbuatan sia-sia.”[3]
Kedua, dari As-Sunnah. ‘Amr bin Syu’aib meriwayatkan dari bapaknya, bahwa kakeknya berkata: “Aku dan saudaraku duduk di sebuah majelis yang sangat berharga, sehingga aku tidak mau ditukar walaupun dengan unta merah. Aku dan saudaraku datang, pada saat beberapa Sahabat senior Rasulullah r duduk di salah satu pintu rumahnya. Kami segan untuk duduk di antara mereka, lalu kami duduk di sebuah kamar. Saat itu mereka sedang membacakan sebuah ayat Al-Qur’an dan mereka memperdebatkannya sampai suara mereka meninggi.
Maka keluarlah Rasulullah r dalam keadaan marah, mukanya memerah dan melempar mereka dengan tanah seraya berkata: “Hati-hatilah wahai umatku! Karena perbuatan seperti inilah umat-umat sebelum kalian dibinasakan, mereka menyelisihi nabi-nabi mereka dan mempertentangkan sebagian kitab suci mereka dengan sebagian yang lain. Sesungguhnya Al-Qur’an tidak diturunkan untuk saling mendustakan, tetapi saling membenarkan, maka kerjakanlah apa yang kalian ketahui darinya, sedangkan yang kalian tidak ketahui, kembalikanlah kepada orang yang mengetahuinya.”[4]
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah r marah karena para Sahabat mempertentangkan dalil satu sama lain. Kemudian beliau menjelaskan bahwa yang demikian itu adalah jalan menuju kebinasaan, dan bahwasannya isi Al-Qur’an itu saling membenarkan.
Ketiga, dari Ijma’. Semua umat Islam sepakat bahwa tidak boleh ada pertentangan di antara dalil-dalil yang pasti kebenarannya.[5]
Abu Bakr al-Baqilani berkata: “Setiap dua hadits yang diketahui dengan pasti bahwa itu adalah perkataan Rasulullah r, tidak mungkin saling bertentangan, walaupun selintas terlihat seperti bertentangan. Karena yang disebut pertentangan di antara dua hadits atau ayat Al-Qur’an dalam perintah dan larangan atau lainnya, adalah bila salah satunya menafikan yang lain.
Seluruh umat Islam dan orang yang meyakini kenabian sepakat, bahwa bila ada dalil yang mengandung perintah dan larangan, atau membolehkan dan melarang, atau salah satu dari dalil itu benar sedangkan yang lain salah, bila dalil itu berisi berita, yang demikian itu tidak mungkin terjadi, dan Nabi r terpelihara dari perbuatan seperti itu, karena berkonsekuensi membatalkan taklif.”[6]
Keempat, dari perkataan Salaf. Imam asy-Syafi’i berkata: “Hendaklah diketahui bahwa hukum-hukum Allah, kemudian hukum-hukum Rasulullah tidak mungkin bertentangan, semuanya berjalan di atas satu jalan.”[7]
Abu Bakr Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah berkata: “Aku tidak tahu ada dua hadits bertentangan yang keduanya diriwayatkan dari Rasulullah r dengan sanad shahih. Maka barang siapa yang memiliki dua hadits yang shahih dan bertentangan, bawalah kepadaku untuk aku persatukan.”[8]
Asy-Syathibi berkata: “Orang yang memperhatikan syari’at sesuai dengan mukaddimah ini, haruslah memperhatikan dua hal: Pertama, wajib melihat syari’at dengan mata yang sempurna dan mempelajarinya secara menyeluruh. Kedua, hendaknya meyakini bahwa tidak ada pertentangan di antara ayat-ayat Al-Qur’an, hadits-hadits Nabi, dan di antara ayat Al-Qur’an dengan hadits Nabi. Semuanya berjalan di atas satu jalan, merajut makna yang satu. apabila tampak kepadanya pertentangan, wajib diyakini olehnya bahwa pertentangan itu tidak ada, karena Allah I telah bersaksi bahwa tidak ada pertentangan di dalamnya. Selanjutnya ia harus mencari jalan untuk mengkompromikannya, atau menerimanya dengan tanpa pertentangan.”[9]
Selanjutnya Imam Ibnul Qayyim berkata: “Adapun dua hadits shahih dan jelas tetapi bertentangan pada setiap sisinya dan yang satu tidak menghapus yang lain. Yang seperti ini tidak pernah ada dan tidak mungkin ada dalam perkataan Nabi r yang benar dan dibenarkan r, yang tidak keluar dari mulutnya kecuali kebenaran… Penyebab kesalahan dalam hal ini adalah: kekurangtahuan tentang dalil naqli; dan ketidakmampuan untuk membedakan mana yang shahih dan mana yang cacat, atau akibat keterbatasan dalam memahami maksud Rasulullah r, atau memahaminya tidak sesuai dengan apa yang dimaksud oleh beliau, atau dari keduanya secara bersamaan. Inilah sumber semua perselisihan dan kerusakan.”[10]
Dalam Qashiidah Nuuniyah Ibnul Qayyim berkata:
Nash-nashnya tidak saling bertentangan
Maka bertanyalah kepada ulama setiap zaman
Apabila engkau mengira ada pertentangan
Itu karena salah pemahaman dan pemikiran
Atau salah satunya tidak bisa ditetapkan
Dari perkataan Nabi yang diutus dengan Al-Qur’an[11]
Kelima, dari dalil ‘aqli. Pertama, mengatakan adanya pertentangan dalil-dalil dalam satu masalah, berarti menetapkan kelemahan dan ketidaktahuan. Lemah dalam menetapkan dalil yang tidak bertentangan dan tidak mengetahui akhir dari semua urusan. Yang demikian ini tidak mungkin terjadi pada Allah I, secara logis maupun syar’i.[12]
Kedua, syari’at diturunkan untuk menghilangkan perselisihan di antara manusia, seandainya dalam syari’at itu ada yang menyebabkan perselisihan –karena pertentangan dalil-dalilnya-, berarti turunnya syari’at itu hanya akan mendatangkan bencana. Yang seperti ini tidak mungkin dikatakan oleh orang berakal yang mengetahui kebijaksanaan Allah I dan kasih saying-Nya kepada semua manusia.
Ketiga, mengatakan adanya pertentangan di antara dalil berkonsekuensi membatalkan ilmu tentang nasikh dan mansukh, bahkan membenarkan pengamalan kedua dalil itu selamanya. Padahal mengamalkan nasikh dan mansukh secara bersamaan adalah sia-sia menurut Ijma’.[13]
Keempat, mengatakan adanya pertentangan di antara dalil-dalil berarti tidak memungkinkan dilakukannya tarjih (menguatkan salah satu dalil) di antara dalil-dalil yang nampak bertentangan. Ini bertentangan dengan apa yang disepakati oleh para ahli ushul fiqh, dan memungkinkan pengamalan dua dalil tanpa penguat. Semua itu adalah sia-sia dan rusak.
Kelima, mengatakan adanya pertentangan di antara dalil-dalil melahirkan empat sikap yang salah:[14]
1. Mengamalkan dua dalil, baik yang berisi berita maupun perintah, berkonsekuensi berkumpulnya dua hal yang berlawanan. Ini adalah salah karena memberikan beban di luar kemampuan.
2. Tidak mengamalkan kedua dalil itu, yang mengakibatkan tidakadanya hukum dalam masalah itu, dan adanya anggapan bahwa Pembuat syari’at Yang Maha Bijaksana menetapkan kedua dalil itu secara sia-sia dan main-main.
3. Mengamalkan salah satu dalil secara pasti adalah, perbuatan tanpa pertimbangan dan penguatan tanpa disertai penguat, serta pendapat dalam agama sesuai hawa nafsu.
4. Mengamalkan salah satu dalil dengan tanpa menentukan mana yang dipilih, mengakibatkan bolehnya mengamalkan dan meninggalkan kedua dalil tersebut, padahal keduanya saling berlawanan.
Keenam, fitrah manusia menerima kaidah ini. Dalam fitrah manusia, Allah I telah menjadikan ketidaksukaan terhadap yang berlawanan dan bertabrakan dan tidak menganggapnya baik. Sebagaimana dalam fitrah mereka pun terpatri sifat Allah I Yang memiliki ilmu, kebijaksanaan, kekuasaan dan kehendak. Sedangkan pertentangan dalam berita-berita yang datang dari Allah I menafikan semua sifat tersebut. Maka jelaslah bahwa segala yang keluar dari Pembuat syari’at Yang Bijaksana pasti ada di atas kesempurnaan, kekuasaan, ilmu, kebijaksanaan dan kehendak-Nya.
Sebab-sebab Terjadinya Pertentangan Nisbi di Antara Nash-nash
Setelah ditetapkan bahwa tidak mungkin terjadi pertentangan di antara dalil-dalil syar’i, tinggal kita sebutkan sebab-sebab terjadinya pertentangn nisbi, di mana para ulama menyebutkan beberapa sebab di antaranya:
1. Antara nash-nash Al-Qur’an atau As-Sunnah yang umum dengan yang mengkhususkan, yang mutlak dengan yang membatasi dan mengecualikan, dan sebagainya.
2. Ketidaktahuan akan luasnya bahasa Arab, di mana Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka, begitu pula As-Sunnah. Maka barang siapa tidak mengetahui hal itu, pastilah berselisih dalam ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
3. Hadits-hadits palsu yang dibuat oleh orang-orang zindiq, yang bertentangan dengan makna-makna yang benar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
4. Salah perkiraan yang dilakukan oleh sebagian rawi-rawi yang terpercaya, di mana dia meriwayatkan hadits dengan perkiraan bahwa hadits itu shahih, padahal tidak demikian adanya. Ibnul Qayyim berkata: “Maka apabila terjadi pertentangan, mungkin karena salah satu dari kedua hadits itu bukanlah perkataan Rasulullah r, tapi sebagian perawinya melakukan kesalahan, meskipun dia seorang terpercaya dan mantap hapalannya. Akan tetapi orang terpercaya pun mungkin melakukan kesalahan…”[15]
5. Mungkin seorang perawi meriwayatkan sebuah hadits dengan lafaz yang asli, sementara yang lain meriwayatkannya dengan makna. Ada yang meriwayatkan dengan ringkas, sedangkan yang lain meriwayatkan apa adanya sebagaimana yang diterimanya dari Rasulullah r. Maka apabila diketahui sebab perbedaan ini, hilanglah pertentangan.
6. Ibnul Qayyim berkata: “… Memaknai perkataan pembuat syari’at dengan makna-makna istilah yang dibuat oleh para ulama di bidang ushul fiqh, fiqh, ilmu jiwa dan lainnya. Karena setiap bidang mempunyai istilah-istilah baru dalam pembicaraan dan ahlinya. Lalu seorang yang telah tertancap dalam hatinya dan terbiasa dengan istilah-istilah tersebut, sehingga ia tidak mengetahui selain itu, lalu ia mendengar perkataan pembuat syari’at dan memaknainya dengan makna istilah yang ia ketahui, sehingga ia memahami apa yang datang dari syari’at tidak sesuai dengan yang dimaksud pembuatnya.
7. Ketidaktahuan terhadap nasikh (nash yang menggugurkan atau mengganti nash sebelumnya) dan mansukh (yang digugurkan atau diganti oleh nash setelahnya), tetapi tidak semua seperti itu, karena di antara mereka ada yang mengetahui yang mansukh dan nasikh.
Jalan Menuju Tarjih
Pertama: Menyatukan Hal-hal yang Sama dan Memisahkan Hal-hal yang Berbeda
Di atas dasar ini dibangun semua hukum syara’. Satu masalah diberi hukum yang sama dengan masalah semisal, dan tidak diberi hokum yang sama dengan masalah yang berbeda. Karena menyamakan yang berbeda adalah kezaliman, sebagaimana firman Allah I:
أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ
“Maka apakah patut kami menjadikan orng-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)” (Q.S. Al-Qalam: 35)
Contoh menyatukan hal-hal yang sama, adalah firman Allah I:
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاء مَن يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنكُمْ إِلاَّ خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat”. (Q.S. Al-Baqarah: 85)
Karena mereka tidak melaksanakan hukum Taurat dalam kasus pembunuhan dan pengusiran Bani Israil dari negeri mereka, di sisi lain mereka melaksanakan hukum Taurat tebusan tawanan perang.[16]Seharusnya mereka melaksanakan semua hukum Taurat dalam semua urusan mereka.
Contoh memisahkan hal-hal yang berbeda, seperti orang-orang Yahudi yang menyamakan Allah I dengan makhluk yang lemah dan tidak berdaya. Lalu mereka menyifati Allah I dengan sifat-sifat makhluk. Mereka mengatakan: “يد الله مغلولة (tangan Allah terbelenggu)”[17]; “إن الله فقير ونحن أغنياء (Sesungguhnya Allah itu fakir dan kami adalah orang-orang kaya)”; [18]dan: “عزيرابن الله (‘Uzair adalah anak Allah)”.[19]
Dalam perkataan yang terakhir, mereka menuduh Allah I memiliki istri dan anak, padahal itu merupakan sifat makhluk. Senada dengan mereka, orang-orang Kristen pun mengatakan: “المسيح ابن الله (Al-Masih adalah anak Allah).”[20]
Semua ahli bid’ah di kalangan kaum Muslimin yang memisahkan dua hal yang sama atau menyamakan dua hal yang berbeda, berarti ada kemiripan dengan orang-orang Yahudi dan Kristen yang menjadi pemimpin dan pendahulu bagi mereka.
Orang-orang yang menafikan sifat-sifat Allah I, baik sebagian maupun seluruhnya, atau menafikan sifat-sifat dan mengakui nama-nama Allah, atau menafikan semua sifat dan nama-Nya, berarti mereka telah memisahkan hal-hal yang sama. Karena sebagian sifat Allah adalah sama dengan sifat-sifat yang lainnya, juga dengan nama-nama-Nya. Di sisi lain, sifat dan nama Allah I tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari zat-Nya.[21]
Di samping itu, mereka telah menyamakan hal-hal yang berbeda, karena mereka tidak meyakini ketiadaan sifat-sifat Allah I, kecuali setelah timbul dalam pemikiran mereka bahwa menetapkan sifat Allah berarti menyamakan-Nya dengan makhluk. Dari itu disimpulkan bahwa setiap orang yang menafikan sifat-sifat Allah I adalah orang yang meyakini kesamaan Allah I dengan makhluk.
Orang-orang yang menafikan taqdir, di satu sisi mereka memisahkan hal-hal yang sama dan serupa, karena mereka mengakui dalil-dalil yang menunjukkan bahwa manusia mempunyai kekuasaan dan kehendak, tetapi mereka mengingkari dalil-dalil yang menetapkan kekuasaan, kehdendak, penciptaan dan ilmu Allah I yang azali. Di sisi lain, mereka pun menyatukan hal-hal yang berbeda, di mana mereka menyamakan makhluk dengan Allah I dalam yang boleh, yang harus dan yang tidak boleh.
Ibnu Qutaibah berkata: “Tidakkah kamu perhatikan bahwa orang-orang yang meingngkari taqdir, ketika melihat dengan kaca mata mereka kepada taqdir Allah yang merupakan rahasia-Nya, lalu mengukurnya dengan ukuran mereka sendiri, tampak bagi mereka bahwa keadilan di antara makhluk harus disamakan dengan keadilan Allah I untuk makhluk-makhluk-Nya, sehingga menganggap adanya keterlepasan dan bahwa makhluk bisa berbuat apa yang tidak dikehendaki Allah I, dan mampu melakukan apa yang tidak diinginkan-Nya. Seakan mereka tidak pernah mendengar kesepakatan umat Islam bahwa apa yang Allah I kehendaki akan terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi.[22]
Orang-orang Khawarij dan Mu’tazilah yang meyakini ancaman Allah I, memisahkan antara dalil-dalil tentang ancaman dan janji Allah I. Mereka mengimani dalil-dalil tentang ancaman tetapi mengingkari dalil-dalil tentang janji, padahal keduanya keluar dari tempat yang sama. Sebaliknya orang-orang Murjiah, mereka mengimani dalil-dalil tentang janji tetapi mengingkari dalil-dalil tentang ancaman.
Orang-orang Syi’ah membedakan para Sahabat, dengan mencintai Sahabat dari kalangan Ahlul Bait dan membenci yang lainnya. Padahal seharusnya mereka mencintai semua Sahabat y. Di sisi lain mereka menyamakan Rasulullah r dengan orang lain dalam ‘ishmah (terjaga dari dosa). Mereka memberikan ‘ishmah kepada para imam mereka. Padahal seharusnya mereka membedakan antara rasul dengan manusia biasa.
Termasuk menyelisihi kaidah ini adalah orang yang membedakan antara Al-Qur’an dan As-Sunnah, bersandar kepada Al-Qur’an tapi tidak kepada As-Sunnah, juga yang membedakan antara nash-nash tentang hukum dan nash-nash tentang akidah, yaitu menerima hadits Ahaad dalam masalah hukum tapi tidak menerima hadits Ahaad dalam masalah akidah, dengan jalan menta’wil, menyerah atau mendustakannya. Semua mereka itu terjerumus dalam pertentangan dan ketidakteraturan. Padahal yang wajib bagi mereka adalah menyamakan yang sama dan membedakan yang berbeda, agar mereka mereka selamat.
Kedua: Tidak Memotong Dalil dan Berdalil dengan Sebagiannya
Memotong dalil dan berdalil dengan sebagiannya saja adalah kebiasaan ahli bid’ah, ketika mendapatkan dalil yang cocok dengan bid’ah dan menjadikannya pelaris dagangan mereka di antara kaum Muslimin yang lemah.
Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi dalam bantahannya terhadap orang-orang Qadariyyah mengatakan: “… Mereka tidak pernah mengambil ayat Al-Qur’an dengan sempurna, tapi mereka mengambil awalnya dan meninggalkan akhirnya, atau mengambil akhirnya dan meninggalkan awalnya. Demi Allah yang jiwaku ada di Tangan-Nya, sungguh Iblis lebih tahu Allah I dan siapa yang ia sesatkan, tetapi orang-orang Qadariyyah mengira bahwa menempuh jalan yang benar.”[23]
Ketika Ghailan ad-Dimasyqi di hadapan Umar bin Abdul Aziz, ia berdalil untuk memperkuat pendapatnya tentang tidak adanya taqdir, dengan firman Allah I:
إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنسَانَ مِن نُّطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَّبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعاً بَصِيراً . إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِراً وَإِمَّا كَفُوراً
“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), Karena itu kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir”. (Q.S. Al-Insaan: 2-3)
Umar berkata: “Coba kamu baca akhir surat itu:
وَمَا تَشَاؤُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيماً حَكِيماً. يُدْخِلُ مَن يَشَاءُ فِي رَحْمَتِهِ وَالظَّالِمِينَ أَعَدَّ لَهُمْ عَذَاباً أَلِيماً
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan memasukkan siapa yang dikehendakinya ke dalam rahmat-Nya (surga). dan bagi orang-orang zalim disediakan-Nya azab yang pedih”. (Q.S. Al-Insaan: 30-31)
Lalu Umar berkata: “Bagaimana pendapatmu?”
Ghailan menjawab: “Aku katakan bahwa aku dulu buta lalu anda kembalikan penglihatanku, aku dulu tuli lalu anda kembalikan pendengaranku dan aku tersesat lalu anda tunjuki aku…” dan ia pun bertaubat.
Namun di masa kekhilafahan Hisyam bin Abdul Malik, ia kembali kepada pendapatnya. Akhirnya Hisyam menyalibnya.[24]
Cara-cara Mentarjih
Pertama, seorang mujtahid harus berusaha mengkompromikan dua dalil, karena mungkin kedua dalil itu berlaku untuk dua kondisi yang berbeda,[25]atau yang satu umum dan yang satu khusus, atau salah satunya mutlak (tidak dibatasi) dan yang lain muqayyad (dibatasi). Karena mengamalkan semua dalil adalah lebih utama daripada meninggalkan semuanya atau sebagiannya. Ini adalah pendapat seluruh ahli fiqh.[26]
Al-Khaththabi berkata: “Dua hadits yang tampak bertentangan dan mungkin dikompromikan dan salah satunya mengikuti yang lain, tidak boleh dianggap bertentangan atau berlawanan, akan tetapi keduanya dipergunakan pada tempatnya masing-masing. Beginilah keputusan para ulama dalam menyikapi banyak hadits (yang dianggap bertentangan)”.[27]
Kedua, seandainya tidak mungkin mengkompromikan dua dalil, tetapi ada kemungkinan saling menghapus di antara keduanya, maka dilihat kronologinya untuk diketahui mana yang dahulu dan mana yang terkakhir, lalu ditentukan bahwa yang terakhir menghapus yang lebih dahulu.
Asy-Syafi’i berkata: “Apabila dua hadits benar-benar bertentangan… maka bisa dipastikan bahwa salah satunya menghapus yang lain…”[28]
Ketiga, Apabila tidak mungkin diketahui kronologinya, maka jalan yang diambil adalah tarjih. Di mana sebagian ulama menyebutkan ada 50 cara untuk mentarjih, sementara yang lain menyebutkan lebih dari itu.[29]
Alhasil, mana pun dalil yang ditarjih (dianggap lebih kuat), itulah yang wajib diamalkan. Dan mengamalkan yang lebih kuat sangat diterima oleh akal dan sudah menjadi kesepakatan ulama. Asy-Syaukani berkata: “Yang demikian itu telah disepakati.”[30]
Keempat, Apabila tidak mungkin ditarjih, maka para ulama berbeda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa seorang mujtahid harus berdiam diri sampai tampak kepadanya sisi penguatan
Adapula yang berpendapat bahwa mujtahid boleh memilih di antara kedua dalil tersebut. Ini adalah pendapat sebagian ulama madzhab Syafi’i dan madzhab Hanafi.[31]
Adapula yang mengatakan bahwa kedua dalil tersebut dianggap gugur, dan dicari dalil ketiga secara berurutan.[32]
Beberapa Contoh Dalil yang Nampak Bertentangan dan Cara Mengkompromikannya
Pertama: Contoh Pertentangan dalam Ayat
Imam Bukhari meriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, bahwa seorang laki-laki berkata kepada Ibnu ‘Abbas t: “Aku mendapatkan dalam Al-Qur’an beberapa ayat yang menurutku bertentangan, seperti firman Allah I:
فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ فَلَا أَنسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلَا يَتَسَاءلُونَ
“Apabila sangkakala ditiup Maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya”. (Q.S. Al-Mu’minuun: 101)
dengan firman-Nya:
وَأَقْبَلَ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ يَتَسَاءلُونَ
” Sebahagian dan mereka menghadap kepada sebahagian yang lain berbantah-bantahan”. (Q.S. Ash-Shaaffaat: 27)
Juga firman Allah I:
يَوْمَئِذٍ يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُواْ وَعَصَوُاْ الرَّسُولَ لَوْ تُسَوَّى بِهِمُ الأَرْضُ وَلاَ يَكْتُمُونَ اللّهَ حَدِيثاً
“Di hari itu orang-orang kafir dan orang-orang yang mendurhakai rasul, ingin supaya mereka disamaratakan dengan tanah, dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadianpun”. (Q.S. An-Nisaa’: 42)
dengan firman-Nya:
ثُمَّ لَمْ تَكُن فِتْنَتُهُمْ إِلاَّ أَن قَالُواْ وَاللّهِ رَبِّنَا مَا كُنَّا مُشْرِكِينَ
“Kemudian tiadalah fitnah mereka, kecuali mengatakan: “Demi Allah, Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah”. (Q.S. Al-An’aam: 23)
Begitu pula firman Allah I:
أَأَنتُمْ أَشَدُّ خَلْقاً أَمِ السَّمَاء بَنَاهَا. رَفَعَ سَمْكَهَا فَسَوَّاهَا. وَأَغْطَشَ لَيْلَهَا وَأَخْرَجَ ضُحَاهَا. وَالْأَرْضَ بَعْدَ ذَلِكَ دَحَاهَا
“Apakah kamu lebih sulit penciptaanya ataukah langit? Allah telah membinanya. Dia meninggikan bangunannya lalu menyempurnakannya. Dan dia menjadikan malamnya gelap gulita, dan menjadikan siangnya terang benderang. Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya”. (An-Naazi’aat: 27-30)
Dalam ayat-ayat ini Allah menyebutkan bahwa Dia menciptakan langit sebelum bumi. Sedangkan di ayat lain Allah I berfirman:
قُلْ أَئِنَّكُمْ لَتَكْفُرُونَ بِالَّذِي خَلَقَ الْأَرْضَ فِي يَوْمَيْنِ وَتَجْعَلُونَ لَهُ أَندَاداً ذَلِكَ رَبُّ الْعَالَمِينَ . وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ مِن فَوْقِهَا وَبَارَكَ فِيهَا وَقَدَّرَ فِيهَا أَقْوَاتَهَا فِي أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ سَوَاء لِّلسَّائِلِينَ . ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاء وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلْأَرْضِ اِئْتِيَا طَوْعاً أَوْ كَرْهاً قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ
“Katakanlah: “Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagiNya? (yang bersifat) demikian itu adalah Rabb semesta alam”. Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. dia memberkahinya dan dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. Kemudian dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu dia Berkata kepadanya dan kepada bumi: “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa”. keduanya menjawab: “Kami datang dengan suka hati”.(Q.S. Fushshilat: 9-11)
Dalam ayat ini disebutkan bahwa Allah I menciptakan bumi sebelum langit.
Lainnya, adalah firman Allah I:
وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزاً حَكِيماً
“ dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.(Q.S. Al-Fath: 7)
مَّن كَانَ يُرِيدُ ثَوَابَ الدُّنْيَا فَعِندَ اللّهِ ثَوَابُ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَكَانَ اللّهُ سَمِيعاً بَصِيراً
“Barangsiapa yang menghendaki pahala di dunia saja (maka ia merugi), Karena di sisi Allah ada pahala dunia dan akhirat. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Melihat”. (Q.S. An-Nisa’: 134)
Ayat-ayat ini seakan-akan menunjukkan sesuatu yang telah terjadi.
Ibnu ‘Abbas berkata: “Adapun firman Allah I: ““Apabila sangkakala ditiup Maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya”. (Q.S. Al-Mu’minuun: 101)
itu adalah setelah tiupan pertama, kemudian ditiup lagi untuk kedua kalinya sebagaimana firman Allah I:
وَنُفِخَ فِي الصُّورِ فَصَعِقَ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَمَن فِي الْأَرْضِ إِلَّا مَن شَاء اللَّهُ ثُمَّ نُفِخَ فِيهِ أُخْرَى فَإِذَا هُم قِيَامٌ يَنظُرُونَ
“Dan ditiuplah sangkakala, Maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi Maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing)”. (Az-Zumar: 68)
Pada saat inilah tidak ada kekerabatan dan mereka tidak saling bertanya. Kemudian ditiup yang terakhir, sebagaimana firman-Nya: ” Sebahagian dan mereka menghadap kepada sebahagian yang lain berbantah-bantahan”. (Q.S. Ash-Shaaffaat: 27)
Adapun firman Allah:
“Di hari itu orang-orang kafir dan orang-orang yang mendurhakai rasul, ingin supaya mereka disamaratakan dengan tanah, dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadianpun”. (Q.S. An-Nisaa’: 42)
dan firman-Nya: “Kemudian tiadalah fitnah mereka, kecuali mengatakan: “Demi Allah, Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah”. (Q.S. Al-An’aam: 23)
Hal itu karena sesungguhnya Allah I mengampuni semua dosa orang-orang yang ikhlas. Dan orang-orang musyrik berkata: “Mari kita katakan bahwa kita tidak pernah musyrik”, maka mulut-mulut mereka ditutup dan berbicaralah tangan-tangan mereka, ketika itulah diketahui bahwa tidak ada pembicaraan yang disembunyikan di hadapan Allah I, dan pada hari itu orang-orang kafir punya keinginan.
Adapun Allah I menciptakan bumi kemudian menciptakan langit dan menuju langit lalu menyempurnakannya dalam dua hari yang lain, kemudian menghamparkan bumi dengan mengeluarkan air dan padang rumput serta menciptakan gunung-gunung dan lembah-lembah dan apa-apa yang ada di antara keduanya dalam dua hari yang lain, itulah yang dimaksud menghamparkan bumi dan Allah I telah menciptakan bumi dalam dua hari, artinya bumi dan seisinya diciptakan dalam empat hari dan langit diciptakan dalam dua hari.
Adapun firman Allah I: “ dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.(Q.S. Al-Fath: 7), artinya Allah I telah menamai dirinya dengan nama tersebut, dan perkataan-Nya akan tetap demikian, karena Allah I tidak menginginkan sesuatu kecuali terjadi sesuai dengan yang diinginkan-Nya.
Maka jangan sampai kamu menganggap ada pertentangan dalam Al-Qur’an, karena semuanya dari sisi Allah”.[33]
Kedua: Contoh Pertentangan antara Hadits dengan Hadits
Orang-orang yang mendakwakan adanya pertentangan beranggapan bahwa hadits:
“لَا يَدْخُلُ النَّارَ أَحَدٌ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةِ خَرْدَلٍ مِنْ إِيمَانٍ وَلَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ أَحَدٌ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةِ خَرْدَلٍ مِنْ كِبْرِيَاءَ”
“Tidak akan masuk neraka, orang yang dalam hatinya ada iman walau seberat biji yang paling kecil, dan tidak akan masuk surga seseorang yang dalam hatinya ada kesombongan walau seberat biji yang paling kecil.”[34]
bertentangan dengan hadits:
“مَا مِنْ عَبْدٍ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ثُمَّ مَاتَ عَلَى ذَلِكَ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ” قال أبو ذر: “وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ؟” قَالَ: “وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ”، قال: “وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ؟” قَالَ: “وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ” ثَلَاثًا، ثُمَّ قَالَ فِي الرَّابِعَةِ: “عَلَى رَغْمِ أَنْفِ أَبِي ذَرٍّ”
“Tidaklah seorang hamba mengatakan: “ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ” kemudian meninggal dalam keadaan demikian, kecuali dia akan masuk surga.”
Abu Dzar berkata: “Walaupun dia berzina dan mencuri?”
Nabi menjawab: “Ya, walaupun dia berzina dan mencuri”.
“Walaupun dia berzina dan mencuri?” Tanya Abu Dzar lagi.
“Ya, walaupun dia berzina dan mencuri”. Nabi r mengatakannya tiga kali. Dan setelah keempat kalinya beliau berkata: “Di atas kehinaan Abu Dzar”.[35]
Orang-orang yang mendakwakan pertentangan itu mengatakan: “Berzina dan mencuri lebih besar di sisi Allah I daripada kesombongan seberat biji yang paling kecil”.[36]
Jawabannya adalah bahwa kesombongan itu ada dua macam: Pertama, kesombongan yang menafikan iman secara keseluruhan, maka pelakunya tidak akan masuk surga, sebagaimana firman Allah I:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku[1326] akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”. (Q.S. Ghaafir: 60).
Termasuk dalam kesombongan ini adalah kesombongan Iblis, Fir’aun dan orang-orang Yahudi.
Kedua, kesombongan yang tidak menafikan iman secara keseluruhan, maksudnya hanya menafikan kesempurnaan iman, seperti menghina manusia atau memungkiri kebenaran, sebagaimana sabda Rasulullah r saat menjelaskan makna kesombongan:
” الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ”
“Kesombongan adalah memungkiri kebenaran dan menghina manusia”.[37]
Orang yang mempunyai kesombongan macam pertama diharamkan masuk surga selamanya. Sedangkan orang yang mempunyai kesombongan macam kedua, nantinya dia akan masuk surga dan mungkin pada awalnya dia dihalangi masuk surga, tapi bukan selamanya.
Dengan demikian, maksud hadits pertama adalah menjelaskan hukum orang yang sombong, yaitu tidak masuk surga. Artinya, bahwa hukum orang yang di dalam hatinya ada kesombongan seberat biji yang paling kecil adalah tidak masuk surga, sebagaimana hukum orang yang ada dalam hatinya keimanan walaupun seberat biji yang paling kecil adalah tidak masuk neraka. Dua keadaan ini mempunyai hukum yang sama, namun kemudian Allah I berbuat sesuai dengan kehendak-Nya.
Yang dinafikan dalam hadits pertama adalah masuk surga secara mutlak yang tanpa disertai siksa dan ancaman. Bukan masuk surga yang terbatas, yaitu yang dialami oleh orang yang masuk neraka kemudian masuk surga setelah dibersihkan dengan ujian, syafa’at, ampunan atau yang sejenisnya.
Ketiga: Contoh Pertentangan Nisbi antara Ayat dan Hadits
Seperti sabda Rasulullah r:
“إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا الْقَمَرَ لَا تُضَامُّونَ فِي رُؤْيَتِهِ”
“Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian seperti melihat bulan (purnama) ini, kalian tidak akan ragu dalam melihat-Nya”.[38]
dengan firman Allah I:
لاَّ تُدْرِكُهُ الأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأَبْصَارَ (
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia dapat melihat segala yang kelihatan”. (Q.S. Al-An’aam: 103), dan firman-Nya kepada Musa u:
وَلَمَّا جَاء مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَن تَرَانِي وَلَـكِنِ انظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكّاً وَخَرَّ موسَى صَعِقاً فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَاْ أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ
“Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku” (Q.S. Al-A’raaf: 143)
yaitu ketika Musa u meminta kepada Allah untuk melihat-Nya.
Orang-orang yang menafikan peristiwa melihat Allah I beranggapan bahwa ini adalah pertentangan, kemudian menyatakan bahwa hadits di atas tidak shahih, atau bila hadits itu shahih, maka yang dimaksud dengan melihat adalah mengetahui, seperti firman Allah I:
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يُسَبِّحُ لَهُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالطَّيْرُ صَافَّاتٍ كُلٌّ قَدْ عَلِمَ صَلَاتَهُ وَتَسْبِيحَهُ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ
“Tidaklah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya”. (Q.S. An-Nuur: 41)
Jawaban atas anggapan yang salah ini bisa dilontarkan dari beberapa sisi: Pertama, melihat yang dinafikan pada kedua ayat di atas adalah penglihatan di dunia, sedangkan hadits menunjukkan bahwa melihat Allah I itu di akhirat, dengan demikian tidak ada pertentangangan.
Kedua, pengetahuan yang dinafikan dalam ayat adalah pengetahuan menyeluruh yang lebih dari sekedar melihat, karena mata tidak mampu melihat Allah I secara sempurna, itu karena keagungan dan kebesaran-Nya.[39]Seperti halnya yang terjadi dalam ciptaan Allah, matahari yang kita lihat dengan mata tapi kita tidak mengetahuinya secara menyeluruh. Maka apalagi Allah Yang Maha Agung dan Maha Besar.
Juga dalam firman Allah I tentang pengikut nabi Musa u dan tentara Fir’aun:
فَلَمَّا تَرَاءى الْجَمْعَانِ قَالَ أَصْحَابُ مُوسَى إِنَّا لَمُدْرَكُونَ. قَالَ كَلَّا إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهْدِينِ
“Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa: “Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul”. Musa menjawab: “Sekali-kali tidak akan tersusul; Sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak dia akan memberi petunjuk kepadaku”. (Q.S. Asy-Syu’araa 61-62)
Dalam ayat di atas nabi Musa menafikan pengetahuan tapi tidak menafikan penglihatan. Dengan demikian, maka ayat: ““Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata“, artinya menafikan pengetahuan tapi tidak menafikan penglihatan, sementara hadits menetapkan penglihatan. Maka dalam hal ini tidak ada pertentangan.
Ketiga, dalam Al-Qur’an ada pernyataan yang memperkuat makna hadits, seperti firman Allah I:
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ. إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat”. (Q.S. Al-Qiyaamah: 22-23)
Penyandaran penglihatan (النظر) kepada wajah yang merupakan tempat mata dan disambung dengan kata “ب”, semuanya memberikan arti penglihatan mata. Dan inilah sebenarnya ni’mat surga yang paling agung, maka orang yang mengingkarinya kemungkinan besar tidak akan mendapatkan ni’mat ini.
Faidah Berpegang Teguh dengan Kaidah “Mengumpulkan nash-nash dalam satu masalah”.
Dengan mengetahui kaidah ini, kita akan mengetahui bukti nyata kesempurnaan syari’ah dari seluruh aspek dan kewajiban berhukum dengannya dalam seluruh kehidupan manusia. Di dalamnya tidak ada kesalahan dan kekurangan sedikit pun, mencakup semua sisi kehidupan manusia baik dalam masalah dunia maupun masalah agama. Dan bila didapatkan di dalamnya pertentangan, maka ada kemunginan untuk mengarahkannya untuk sampai kepada kebenaran.
Di antara sekian faidah itu adalah sebagai berikut:
Faidah pertama, bahwa pertentangan antara nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah menuntut pendustaan terhadap sebagian kebenaran, karena yang demikian itu berarti mempertentangkan antara dua kebenaran. Allah I berfirman:
فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن كَذَبَ عَلَى اللَّهِ وَكَذَّبَ بِالصِّدْقِ إِذْ جَاءهُ أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مَثْوًى لِّلْكَافِرِينَ. وَالَّذِي جَاء بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ أُوْلَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
“Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya? bukankah di neraka Jahannam tersedia tempat tinggal bagi orang-orang yang kafir? Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka Itulah orang-orang yang bertakwa”. (Q.S. Az-Zumar: 32-33)
Faidah kedua, mengetahui bahwa para ahli bid’ah beriman kepada sebagian Al-Qur’an dan mengingkari sebagian yang lain. Pada diri mereka ada kemiripan dengan para ahli kitab. Sementara para Sahabat, Tabi’in dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka selalu berdalil dalam masalah-masalah akidah dengan nash-nash dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, dengan tanpa memilah-milah dan tidak menganggap ada pertentangan di antara nash-nash tersebut. Semua itu menunjukkan bahwa seluruh dalil itu keluar dari satu wadah,[40] saling membenarkan satu sama lain. Dengan demikian, memilah-milah nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah dalam masalah akidah merupakan bid’ah orang-orang yang datang belakangan, tidak ada contoh dari Salafus-Shalih.
Faidah ketiga, bahwa nash-nash itu saling menjelaskan satu sama lain, yang mutlaq dijelaskan oleh yang muqayyad, yang umum dijelaskan oleh yang khusus, nash yang jelas menerangkan yang rumit, dan begitu seterusnya. Bahkan yang seperti ini adalah cara terbaik dalam tafsir, di mana pembicaraan yang berbicara saling menjelaskan satu sama lain. Bila ada pembicaraan yang global di satu tempat, ada rinciannya di tempat lain. Bila ada yang tidak jelas di satu tempat, ada penjelasannya di tempat lain. Begitu pula perkataan para ulama, baik dalam buku mereka maupun dalam kaset.
Faidah keempat, memahami bahwa para ulama telah menggunakan kaidah-kaidah ini untuk mematahkan argumen para ahli bid’ah dan membongkar kekeliruan mereka. Seperti yang dilakukan oleh Imam asy-Syafi’i dalam kitab Ar-Risaalah dan Mukhtalaful Hadiits, Imam Ahmad dalam bantahannya terhadap Jahmiyyah, Imam Ibnu Qutaibah dalam kitab Mukhtalaful Hadiits, ath-Thahawi dalam kitab Musykilul Aatsaar dan banyak lagi ulama Ahlus-Sunnah lainnya.
[1] . Makalah ini merupakan terjemahan bebas dari kitab al-Mukhtashar al-Hatsîts, karya Syaikh ‘Îsâ Mâlullâh Faraj, (Kuwait: Gheras, 1428 H), hal. 76-92.
[2] . Jaami’ul Bayaan, ath-Thabari: V/179.
[3] . Al-Muwaafaqaat, asy-Syathibi, IV/119.
[4] . H.R. Ahmad, no. 6702.
[5] . Al-Musawwadah, Majdud-Din Ibnu Taimiyah: 448 dan Irsyaadul Fuhuul, asy-Syaukani: 274.
[6] . Al-Kifaayah, al-Khathib al-Baghdadi: 433 dan lihat perkataan Abu Hamid al-Ghazali dalam al-Mustashfa’: II/395.
[7] . Ar-Risaalah: 173.
[8] . Al-Kifaayah: 432-433 dan Muqaddimah Ibnush Shalah: 143.
[9] . Al-I’tishaam: II/311.
[10] . Zaadul Ma’aad: IV/149-150.
[11] . Al-Kaafiyatusy Syaafiyah fil Intishaari lil Firqatin Naajiyah: 1144.
[12] . Lihat Kasyful Asraar: III/67 dan Taqriir wat Tahriir: III/2.
[13] . Lihat al-Muwaafaqaat: IV/120-121.
[14] . Lihat al-Muwaafaqaat: IV/121-122, al-Ibhaaj Syarhul Minhaaj, as-Subki: III/2000 ,Haasyiyatul Banaani ‘alal Jalaalil Mahalli: II/358 dan al-Mustashfa’: II/379 dst.
[15] . Zaadul Ma’aad: IV/149 dan lihat al-Madkhal ila Madzhabil- Imaam Ahmad: 197.
[16] . Fawaa-dul Iltizaam bil Qaa’idah, Ibnul Qayyim: IV/143-144 dan Tafsiir Ibn Katsiir: I/173-174.
[17] . Q.S. Al-Maa-idah: 64.
[18] . Q.S. Ali ‘Imran: 181.
[19] . Q.S. At-Taubah: 30.
[20] . Q.S. At-Taubah: 30.
[21] . Lihat ar-Risaalatut Tadmuriyyah: 21 dst.
[22] . Ikhtilaaful Lafzhi: 12-13.
[23] . Asy-Syarii’ah, al-Ajuri: 222.
[24] .Ibid: 228.
[25] . Abu Bakr al-Baqilani berkata: “Bila diketahui dua dalil tampak bertentangan dan salah satunya menafikan makna yang dimaksud oleh yang lain, maka harus dipahami dalam menetapkan dan menafikan bahwa kedua dalil itu untuk dua waktu, atau dua kelompok, atau dua orang, atau dua sifat yang berbeda. Ini merupakan keharusan dengan keyakinan bahwa tidak mungkin terjadi pertentangan Rasulullah r dalam menetapkan dan menyampaikan syari’at. Dinukil oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam al-Kifaayah: 433.
[26] . Lihat Irsyaadul Fuhuul: 276.
[27] . Ma’aalimus Sunan: III/80.
[28] . Ikhtilaaful Hadiits: VII/57.
[29] . Lihat al-I’tibaar fii Bayaanin Naasikh wal Mansuukh: 11 dst, dan at-Taqyiid wal Iidhaah: 254.
[30] . Irsyaadul Fuhuul: 276.
[31] . Raudhatul Anwaar: II/432.
[32] . Lihat Irsyaadul Fuhuul: 275. dan Raudhatul Anwaar: II/432.
[33] . Shahih Bukhari, VIII/555-556, Fathul Baari, Kitabut Tafsiir – Surat as-Sajdah. Lihat pula ar-Radd ‘alaz Zanaadiqah wal Jahmiyyah, Ahmad bin Hanbal: 54.
[34] . H.R. Muslim: I/93, no. 148.
[35]. H.R. Muslim: I/95, no. 154.
[36]. Lihat Ta’wiilu Mukhtalafil Hadiits: 117.
[37] . H.R. Muslim: I/93, no. 147.
[38] . H.R. Bukhari: II/23, no. 554.
[39] . Lihat Syarhuth Thahaawiyyah: 150.
[40] . Lihat Shahiih Bukhari: XII/283, hadits no. 6931.