MEMBATASI SUMBER AKIDAH HANYA DARI AL-QUR’AN, AS-SUNNAH DAN IJMA’ SALAF [1]
Maksudnya adalah sumber pengambilan ajaran agama secara umum dan akidah secara khusus. Karena akidah termasuk masalah gaib yang tidak bisa dijangkau indra, maka ia termasuk masalah tauqiifiyyah (tergantung kepada wahyu). Artinya, tidak mungkin menetapkan masalah apapun dalam akidah selain dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta kesepakatan (Ijma’) Salaf, karena kesepakatan mereka terpelihara dari kesalahan.
Iman kepada yang gaib, di mana masalah akidah termasuk di dalamnya, merupakan sifat pertama orang-orang yang bertakwa, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
لِّلْمُتَّقِينَ (2) الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ ……….
“… bagi mereka yang bertaqwa. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib” (Q.S. Al-Baqarah: 2-3).
Hakikat iman adalah keyakinan yang sempurna terhadap segala berita yang dibawa para rasul, yang diwujudkan dalam ketundukan seluruh anggota badan. Dan yang paling penting bukanlah mengimani apa-apa yang bisa dijangkau oleh indra, karena bila demikian, berarti tidak ada perbedaan antara Muslim dengan kafir. Tapi yang paling penting adalah iman kepada yang gaib, yang tidak bisa dilihat dan disaksikan karena beritanya bersumber dari Allah I dan rasul-Nya.
Inilah iman yang membedakan antara orang Muslim dan orang kafir, yang merupakan keyakinan yang murni kepada Allah I dan Rasulullah r. Seorang mu’min mengimani semua berita yang datang dari Allah I dan rasul-Nya, baik bisa dilihat maupun tidak, dimengerti dan dipahami maupun tidak bisa dijangkau oleh akal dan pemahamannya. Berbeda dengan orang-orang zindiq dan yang mendustakan perkara-perkara gaib, karena akal mereka yang terbatas dan lemah sehingga tidak mampu mencapainya, lalu mendustakan apa-apa yang tidak diketahuinya, membuat akal mereka mati, atau tertidur dibuai oleh mimpi. Sedangkan akal orang-orang mu’min yang meyakini dan mendapat petunjuk menjadi bersih karena petunjuk Allah I.
Termasuk iman kepada yang gaib mengimani semua yang diberitakan oleh Allah I tentang perkara-perkara gaib yang telah terjadi dan akan terjadi, peristiwa-peristiwa di akhirat dan hakikat sifat-sifat Allah I. Juga mengimani semua yang diberitakan oleh para rasul. Orang-orang mu’min mengimani keberadaan sifat-sifat Allah I, mereka meyakininya walaupun tidak memahami bagaimana haikikatnya.[2]
Sumber Pertama adalah Al-Qur’an.
Al-Qur’an adalah perkataan Allah I yang hakiki, diturunkan kepada Rasulullah r dengan proses wahyu, membacanya termasuk ibadah, disampaikan kepada kita dengan jalan mutawaatir (jumlah orang yang banyak dan tidak mungkin bersepakat untuk berbohong), dan terjaga dari penyimpangan, perubahan, penambahan dan pengurangan. Dalam hal ini Allah I berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya”. (Q.S. Al-Hijr: 9)
Sumber Kedua adalah As-Sunnah
As-Sunnah adalah perkataan, perbuatan dan persetujuan yang dinukil secara pasti dari Nabi Muhammad r. Allah I berfirman:
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya”. (Q.S.Al-Najm: 3)
Sementara Rasulullah r bersabda:
” أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ”
“Ketahuilah bahwa aku diberi Al-Qur’an dengan yang semisalnya.”[3]
Sumber Ketiga adalah Ijma’.
Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid umat Nabi Muhammad r atas satu hukum syara’, pada satu masa setelah wafatnya beliau.[4]
Adapun dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban mengambil masalah-masalah akidah dari ketiga sumber di atas saja adalah sebagai berikut:
Pertama, dari Al-Qur’an:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اسْتَجِيبُواْ لِلّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُم لِمَا يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu[605], Ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya[606] dan Sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan”. (Q.S. Al-Anfaal: 24)
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالاً مُّبِيناً
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang nyata”. (Q.S. Al-Ahzaab: 36)
كِتَابٌ أُنزِلَ إِلَيْكَ فَلاَ يَكُن فِي صَدْرِكَ حَرَجٌ مِّنْهُ لِتُنذِرَ بِهِ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ (2) اتَّبِعُواْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُواْ مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء قَلِيلاً مَّا تَذَكَّرُونَ (3)
“Ini adalah sebuah Kitab yang diturunkan kepadamu, Maka janganlah ada kesempitan di dalam dadamu karenanya, supaya kamu memberi peringatan dengan Kitab itu (kepada orang kafir), dan menjadi pelajaran bagi orang-orang yang beriman. Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya, amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).” (Q.S. Al-A’raaf: 2-3)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Q.S. An-Nisa’: 59)
مَّا أَفَاء اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاء مِنكُمْ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”. (Q.S. Al-Hasyr: 7)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَكُونُواْ مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar”. (Q.S. Al-Taubah: 119)
Ibnu Qayyim berkata: “Banyak di antara ulama Salaf yang mengatakan bahwa mereka (orang-orang yang benar itu) adalah para Sahabat Rasulullah r dan tidak diragukan bahwa merekalah para pemimpin kebenaran. Orang yang benar setelahnya adalah yang mengikuti kebenaran mereka, bahkan dengan mengikuti dan berjalan bersama mereka akan tercapai hakikat kebenaran. Dan siapa yang menyelisihi mereka dalam satu masalah –walaupun sepakat dalam masalah lainnya- berarti dia tidak bersama mereka dalam hal itu, maka dia tidak pantas dikatakan bersama mereka.”
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءتْ مَصِيراً
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang Telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (Q.S. An-Nisa’: 115)
Maksud ayat ini adalah, bahwasannya Allah I mengancam orang yang mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman. Artinya bahwa yang demikian itu haram dan mengikuti jalan orang-orang yang beriman itu adalah wajib.
Kedua, dari As-Sunnah:
1. Jabir bin Abdillah t menceritakan bahwa ‘Umar bin Khaththab datang kepada Rasulullah r membawa kitab yang didapatkannya dari seorang ahli kitab, setelah membacanya, serta merta beliau marah seraya berkata:
” أَمُتَهَوِّكُونَ فِيهَا يَا ابْنَ الْخَطَّابِ! وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً. لَا تَسْأَلُوهُمْ عَنْ شَيْءٍ فَيُخْبِرُوكُمْ بِحَقٍّ فَتُكَذِّبُوا بِهِ، أَوْ بِبَاطِلٍ فَتُصَدِّقُوا بِهِ. وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ مُوسَى u كَانَ حَيًّا، مَا وَسِعَهُ إِلَّا أَنْ يَتَّبِعَنِي”
“Apakah kamu terjerumus ke dalamnya tanpa berpikir wahai ibn Khaththab? Demi Allah Yang jiwaku ada di Tangan-Nya, sungguh aku telah membawanya dalam keadaan putih bersih. Janganlah kamu bertanya kepada mereka tentang sesuatu, yang bila mereka memberitahu dengan benar kamu dustakan, atau mereka memberitahu dengan salah kamu benarkan. Demi Allah Yang jiwaku ada di TanganNya, seandainya Musa u hidup, tidak ada pilihan baginya kecuali mengikutiku.[5]
2. ‘Ubaidillah bin Rafi’ menerima kabar dari bapaknya, bahwa Rasulullah r bersabda:
“لَا أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيكَتِهِ يَأْتِيهِ أَمْرٌ مِمَّا أَمَرْتُ بِهِ أَوْ نَهَيْتُ عَنْهُ، فَيَقُولُ: “لَا أَدْرِي مَا وَجَدْنَا فِي كِتَابِ اللَّهِ اتَّبَعْنَاهُ”
“Janganlah aku dapatkan seorang di antara kalian bertelekan di atas dipannya saat datang kepadanya perintahku atau laranganku lalu dia mengatakan: “Aku tidak tahu. Apa yang kami dapatkan dalam Kitab Allah (Al-Qur’an) saja yang kami ikuti.”[6]
“خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ يَأْتِي مِنْ بَعْدِهِمْ قَوْمٌ يَتَسَمَّنُونَ وَيُحِبُّونَ السِّمَنَ يُعْطُونَ الشَّهَادَةَ قَبْلَ أَنْ يُسْأَلُوهَا”
“Manusia yang paling baik adalah generasi yang hidup bersamaku, kemudian generasi setelahnya, kemudian generasi setelahnya. Kemudian datang setelah mereka orang-orang gemuk dan menyukai kegemukan, mereka memberi kesaksian sebelum diminta.”[7]
Yang demikian itu menuntut kita mendahulukan para Sahabat dalam seluruh bidang kebaikan, sebab bila tidak demikian, maka mereka bukanlah generasi terbaik secara mutlak. Seandainya boleh seorang dari mereka salah dalam menentukan hukum, sementara tidak ada seorang pun dari Sahabat yang memberi fatwa dengan benar, lalu generasi setelah mereka menemukan kebenaran, maka generasi itu lebih baik dari mereka.[8]
Ketiga, dari Ijma’
1. Asy-Syafi’i berkata: “Aku tidak tidak mengetahui seorang pun di antara Sahabat Rasulullah r, tidak pula di antara Tabi’in yang membawa berita dari Rasulullah r kecuali berita itu diterima dan sampai kepada beliau, serta ditetapkan sebagai Sunnah… Barang siapa menyelisihi madzhab ini, menurut kami, dia telah menyelisihi jalan Sahabat Rasulullah r dan para ulama setelahnya sampai hari ini, dan dia kemungkinan termasuk orang-orang yang bodoh.”[9]
2. Ibnu Taimiyah berkata: “Ijma’ adalah dalil ketiga yang dijadikan landasan dalam ilmu dan agama. Mereka menimbang seluruh perkataan dan perbuatan manusia yang berhubungan dengan agama, baik yang lahir maupun yang batin, dengan tiga dalil ini (Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’). Dan Ijma’ yang pasti kebenarannya adalah Ijma’ Salafus-Shalih. Karena setelah zaman mereka umat Islam telah menyebar dan terjadi banyak perselisihan”.[10]
Keempat, dari Perkataan Salaf:
1. Abu Ayyub as-Sakhtiyani berkata: “Apabila disampaikan As-Sunnah kepada seseorang, tapi ia berkata: “Jangan bicarakan ini, sampaikan kepada kita dari Al-Qur’an saja”, maka ketahuilah bahwa orang tersebut adalah sesat dan menyesatkan.”
2. Al-Auza’i mengomentari perkataan Abu Ayyub di atas: “Yang demikian itu, karena As-Sunnah berfungsi untuk menyempurnakan Al-Qur’an, dan Al-Qur’an tidak berfungsi untuk menyempurnakan As-Sunnah.”[11]
3. Al-Hasan berkata: “Ketika ‘Imran bin Hushain t menceritakan Sunnah Rasulullah r, tiba-tiba seorang laki-laki berkata: “Wahai Abu Nujaid, sampaikan kepada kita Al-Qur’an”. ‘Imran menjawab: “Apakah kamu dan teman-temanmu selalu membaca Al-Qur’an? Apakah kamu bisa menceritakan kepadaku tata cara shalat (dari Al-Qur’an) dan batasan-batasannya? Apakah kamu bisa menceritakan kepadaku tentang zakat emas, unta, sapi, dan harta lainnya? Sungguh aku menyaksikan di saat kamu belum ada.” Kemudian ‘Imran melanjutkan: “Rasulullah r mewajibkan kepada kita dalam zakat ini dan itu. Lalu laki-laki itu berkata: “Engkau telah menghidupkanku, semoga Allah I menghidupkanmu.”
Al-Hasan berkata: “Laki-laki itu di kemudian hari menjadi ulama sampai meninggalnya.”[12]
4. ‘Abdullah bin Mas’ud t berkata: “Siapa yang ingin mengambil teladan, hendaklah meneladani Sahabat Rasulullah r, karena merekalah orang-orang yang paling baik hatinya di antara umat ini, lebih dalam ilmunya, tidak mengada-ada, lebih lurus petunjuknya dan lebih baik keadaannya. Mereka adalah orang-orang yang dipilih oleh Allah untuk menemani nabi-Nya dan menegakkan agama-Nya. Maka ketahuilah keutamaan dan ikutilah jejak mereka, karena mereka ada di atas jalan yang lurus.”[13]
Ibnu Qayyim berkata: “Adalah mustahil, bila Allah I tidak memberikan kebenaran dalam hukum-hukum-Nya kepada orang-orang yang paling baik hatinya di antara umat ini, lebih dalam ilmunya, tidak mengada-ada dan lebih lurus petunjuknya, tapi memberikan kebenaran itu kepada orang-orang sesudah mereka.”[14]
5. Abu Hanifah berkata: “Apabila Sahabat bersepakat atas satu masalah, maka kita terima bulat-bulat.”
6. Dawud az-Zhahiri mengatakan bahwa Ibn Hibban dan Ahmad bin Hanbal berkata: “Ijma’ itu harus diikuti bila datang dari Nabi r dan para Sahabat nya. Tapi bila datang dari Tabi’in maka boleh dipilih. (Maksudnya bila datang dari seorang Tabi’in dan bukan seluruhnya)
7. Ibnu Taimiyah berkata: “Adapun dalam masalah akidah, tidak boleh diambil dariku dan orang sebelumku, tetapi harus diambil dari Allah I dan Rasulullah r dan yang disepakati oleh para pendahulu (Sahabat). Apa yang ada dalam Al-Qur’an wajib diyakini, begitu pula yang ada dalam hadits-hadits shahih, seperti dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Adapun kitab-kitab yang aku tulis, pada dasarnya tidaklah aku menulis sebuah kitab untuk seseorang dengan maksud mendakwahinya, akan tetapi aku menulis sebagai jawaban bagi orang-orang yang bertanya kepadaku, baik dari penduduk Mesir maupun yang lainnya. Sungguh telah sampai kepadaku bahwa ada pemalsuan kitab atas namaku yang disampaikan kepada al-Amir Ruknud-Din al-Jasyinkir, seorang guru besar di kesultanan, yang di dalamnya terkandung akidah yang menyeleweng dan aku tidak tahu kebenarannya, tapi aku yakin bahwa itu adalah palsu. Di samping itu, selalu datang kepadaku dari Mesir dan lainnya, orang-orang yang bertanya tentang masalah akidah dan lain-lain, maka aku berikan jawaban dengan Al-Qur’an, As-Sunnah dan yang disepakati oleh Salaf.[15]
Kesimpulan:
Sesungguhnya landasan akidah adalah menerima dan mengikuti. Artinya menerima dari Allah I dan mengikuti Rasulullah r, kemudian mengikuti kesepakatan Salaf. Az-Zuhri berkata: “Risalah itu dari Allah, kewajiban Rasulullah r adalah menyampaikan dan kewajiban kita adalah menerima.[16]
[1] Makalah ini merupakan terjemahan bebas dari kitab al-Mukhtashar al-Hatsîts, karya Syaikh ‘Îsâ Mâlullâh Faraj, (Kuwait: Gheras, 1428 H), hal. 41-46
[2] . Taisiiul-Kariim ar-Rahmaan, Ibnu Sa’di, hal. 29-30.
[3] . H.R. Ahmad, no. 17213 dan Abu Dawud, no. 4604 serta dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahiihul-Jaami’, no. 4408.
[4] . Irsyaadul-Fuhuul, asy- Syaukani, hal. 73.
[5]. H.R. Tirmidzi dan Hakim, dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahiihul-Jaami’, no. 3294.
[6] . H. R. Ahmad, juz III, hal. 387, Darimi, juz I, hal 115, Ibnu Abi ‘Âshim dalam as-Sunna: V/2 dan Ibnu ‘Abdil-Barr dalam Jaami’ Bayaanil-‘Ilmi wa Fadhlih: II/24. Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat Irwaa-ul-Ghaliil: I/34.
[7] . H.R. Ahmad: III/367, Tirmidzi, no. 2663, Abu Dawud, no. 4605, Ibnu Majah, no. 13, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahiihul-Jaami’, no. 7172.
[8] . I’laamul-Muwaqqi’iin, hal. 136.
[9] ., Miftaahul-Jannah fiil-Ihtijaaj bis-Sunnah, As-Suyuthi. no. 143, hal. 59-60.
[10] . Al-‘Aqiidah al-Waasithiyyah: I/30.
[11] . Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Ma’rifah, hal. 65, dan al-Harawi: XXX/1, sanad ini dishahihkan oleh Syaikh Badr al-Badr, lihat Miftaah al-Jannah, as-Suyuthi, hal. 60.
[12] . Jaami’ Bayaanil-‘Ilmi wa Fadhlih. Ibnu ‘Abdil-Barr.
[13] . Diriwayatkan oleh Ahmad dan lain-lain.
[14] . I’laamul-Muwaqqi’iin: IV/139, di sana Ibnu Qayyim menjelaskan berbagai aspek dengan dalil-dalilnya.
[15] . Majmuu’ Fataawa: III/156 dan 161. Lihat pula I’laamul-Muwaqqi’iin, Ibnu Qayyim: IV/123-135.
[16] . Diriwayatkan oleh al-Bukhari, juz VI, no. 2736.