KEWAJIBAN MENGIKUTI MANHAJ SALAF[1]
Hendaknya diketahui bahwa tidak ada pilihan lain kecuali mengikuti manhaj Salafus-Shalih, karena merupakan kewajiban agama sesuai dalil-dalil berikut:
Pertama, dalil dari Al-Qur’an:
Allah berfirman:
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءتْ مَصِيراً
“Dan barang siapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahannam.” (Q.S. An-Nisaa: 115)
Ibnu Katsiir berkata: dalam firman Allah ” وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ” ini merupakan konsekuensi dari sifat pertama (yaitu menentang Rasulullah). Tetapi penentangan itu mungkin dilakukan terhadap nash (teks) dari pembuat syari’at (Rasulullah), mungkin pula terhadap apa-apa yang disepakati oleh umat Muhammad r dalam kesepakatan-kesepakatan yang benar terjadi, karena mereka telah dijamin dari kemungkinan bersepakat di atas kesalahan, sebagai penghormatan bagi mereka dan Nabi mereka.”[2]
Tidak diragukan bahwa Manhaj Salaf –yaitu para Sahabat, Tabi’in dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka- adalah yang dimaksud dengan jalan orang-orang mu’min dalam akidah dan amal.
Di tempat lain Allah berfirman:
وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muahjirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung.” (Q.S. At-Taubah: 100)
Ini adalah pujian dari Allah terhadap jalan para Sahabat dan orang-orang yang mengikutinya dengan baik dalam masalah-masalah akidah dan amal. Dan merupakan penjelasan tentang kenikmatan yang disediakan Allah I untuk mereka. Ini merupakan bkti keridaan-Nya terhadap manhaj mereka dan kewajiban mengikutinya.
Kedua, dalil dari As-Sunnah. Rasulullah r bersabada:
“خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ”
“Manusia yang paling baik adalah generasi (yang hidup bersama)ku, kemudian generasi setelahnya, kemudian generasi setelahnya.”[3]
Selanjutnya ‘Irbadh bin Sariyah berkata: “Rasulullah r menyampaikan kepada kami sebuah nasihat yang membuat hati bergoncang dan mata berlinang. Kami katakan: “Wahai Rasululullah! Seakan ini adalah nasihat perpisahan, maka berilah kami wasiat”. Lalu Rasulullah r bersabda:
“أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى بَعْدِي اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ”
“Aku berwasiat kepada kalian untuk selalu takwa kepada Allah dan selalu patuh dan taat (kepada pemimpin) walaupun dia seorang hamba dari Habsyah. Sungguh siapa di antara kalian yang hidup nanti, pasti akan melihat setelah (kepergian)ku banyak perselisihan. Maka kalian harus berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah para khalifah yang baik dan mendapat petunjuk. Gigitlah dengan geraham. Dan hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang baru, karena setiap yang baru (dalam agama) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan.”[4]
Kedua Hadits di atas menunjukkan keutamaan Sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, dan bahwa jalan mereka adalah jalan keselamatan dari berbagai bencana dan pereselisihan. Dan ini menunjukkan wajibnya mengikuti dan mengamalkan manhaj mereka.
Ketiga, perkataan Salaf:
‘Abdullah bin Mas’ud berkata: “Ikutilah dan jangan membuat sesuatu yang baru, karena kalian sudah tidak perlu lagi yang baru, dan setiap yang baru (dalam agama) adalah sesat.[5]
Al-Auza’i berkata: “Bersabarlah di atas Sunnah, berdirilah di mana orang-orang (Salaf) berdiri, katakanlah seperti apa yang mereka katakan, tahanlah diri sebagaimana mereka menahan diri, tempuhlah jalan para pendahulumu yang salih, karena cocok bagi kalian apa yang cocok bagi mrereka”[6].
Di lain kesempatan al-Auza’i berkata: “Kamu harus mengikuti jejak para pendahulu walau orang-orang menolakmu. Hati-hatilah dari pendapat orang-orang (sekarang) walau dihias dengan perkataan yang menarik hatimu, karena sudah jelas dan kamu berada di jalan yang lurus jauh dari (perkatan itu).”[7]
Darinya pula dinukil pernyataan: “Sesungguhnya Allah melihat hati seluruh manusia, maka didapatkan bahwa hati Muhammad r adalah yang paling baik, maka dipilihlah untuk mengemban risalah-Nya. Kemudian Dia melihat hati seluruh manusia setelah Muhammad r, maka Dia mendapatkan hati para Sahabatnya adalah hati yang terbaik, lalu mereka dijadikan pembela-pembela nabi-Nya dan berperang di atas agama-Nya.”[8]
Selanjutnya Syaikhul-Islam, Ibnu Taimiyah berkata: “Tidak ada aib bagi orang yang menampakkan madzhab Salaf dan menisbatkan diri kepadanya, bahkan hal itu harus diterima sebagaimana disepakati (oleh para ulama), karena madzhab Salaf pasti benar.”[9]
Selanjutnya Ibnu Katsir berkata: “… dalam hal ini banyak sekali komentar yang tidak bisa dipaparkan di sini, tetapi sesungguhnya dalam kondisi seperti ini yang harus ditempuh adalah madzhab Salafus-Shalih seperti Malik, al-Auza’i, ats-Tsauri, Laits bin Sa’d, asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan Ishaq.”[10]
Metode Salaf Paling Selamat, Paling Tahu dan Paling Bijak
Orang-orang yang mengatakan bahwa metode Salaf lebih selamat tetapi metode Khalaf lebih tahu dan lebih bijak. Yang mereka maksud dengan metode Khalaf adalah metode ta’wil, yaitu memaknai nash-nash dengan makna lain yang dimungkinkan secara etimologis. Akan tetapi di sisi lain mereka bersepakat bahwa ta’wil adalah sesuatu yang tidak meyakinkan.[11]Sehingga tidak ada satu pun di antara mereka yang meyakini makna yang mereka ta’wilkan. Artinya mereka melakukan perbuatan sia-sia, bahkan meninggalkan nash-nash yang mengandung kebenaran dan meyakinkan, lalu mengambil kemungkinan-kemungkinan dan perkiraan-perkiraan yang mudah dipatahkan, sementara mereka dalam kebingungan dan ketidakpastian.
Selanjutnya asy-Syaukani berkata: “Mereka -para ahli Kalam-, sepakat bahwa metode Salaf paling selamat, tetapi beranggapan bahwa metode Khalaf paling tahu, namun akhir dari apa yang mereka dapatkan dari kepalingtahuan metode Khalaf ini adalah angan-angan dan keinginan para pemikir dan orang-orang pintar mereka untuk kembali kepada keyakinan orang-orang tua. Mereka mengatakan: “Selamat bagi orang-orang awam”.
Cobalah renungkan! kepalingtahuan itu berujung pada pengakuan terhadap kemenangan orang-orang awam, dan harapan untuk menjadi seperti mereka, memiliki keyakinan dan berjalan di atas jalan mereka. Ini sebuah teriakan yang memekakkan telinga dan dalil yang sangat jelas sejelas matahari di siang bolong, bahwa ternyata “kepalingtahuan” yang dicari itu tidak lebih baik dari kebodohan. Bisakah anda bayangkan sebuah ilmu yang membawa pemiliknya mengatakan bahwa kebodohan lebih baik dari ilmu yang dimilikinya? Jadi, ketika pemilik ilmu itu sudah sampai di tujuannya dan mencapai puncaknya, ia menjadi bodoh dan meninggalkan ilmu tersebut. Sungguh merupakan pelajaran bagi orang yang cerdik dan tanda yang jelas bagi orang yang memperhatikan.”[12]
Selanjutnya Syaikh Bakr Abu Zaid berkata: “Berjalanlah di atas jalan Salafus-Shalih. Seorang Salafi yang berjalan di atas jalan mereka, yaitu jalan para Sahabat y dan orang-orang yang menapaki jejak mereka dalam semua permasalahan agama, baik itu tauhid, ibadah maupun yang lainnya, dengan setia terhadap Sunnah- Rasulullah r, melaksanakan sunnah-sunnah dengan telaten, meninggalkan debat ilmu Kalam serta meninggalkan semua dosa.”[13]
Terpeliharnya Ilmu-ilmu Ahlus- Sunnah
Kesimpulan: Bahwa faktor yang mewajibkan mengikuti Manhaj Salaf adalah bahwa Ahlus-Sunnah terpelihara dalam mengambil ilmu yang disepakati oleh para Sahabat dan Tabi’in, karena kesepakatan mereka adalah dalil yang kuat
[1] Makalah ini merupakan terjemahan bebas dari kitab al-Mukhtashar al-Hatsîts, karya Syaikh ‘Îsâ Mâlullâh Faraj, (Kuwait: Gheras, 1428 H), hal. 21-25.
[2] . Lihat Tafsiir Ibnu Katsir.
[3] . Musnad Ahmad, no 3594, Shahihul- Bukhari, no. 60650 dan Shahih Muslim, no 2533.
[4] Musnad Ahmad, juz IV, hal. 126-127, Sunan Abi Dawud, no. 4607, Sunanut- Tirmidzi, no. 2676, Sunanud- Daarimi, no. 95, dan dishahihkan oleh al- Albani dalam Shahiih al-Jaami’, no. 2546.
[5] Wakii’ bin Jarrah, Kitaabuz -Zuhdi, hal. 315, Ahmad, Kitaabuz –Zuhdi: II/110, Ibn Wadhdhaah, Kitaabuz -Zuhdi, hal 10.
[6] . Dinukil oleh al- Ajuri dalam asy-Syarii’ah, hal. 58 dan Khathiib dalam Syaraf Ashhaabil- Hadiits, no. 7.
[7] . Diriwayatkan oleh Baihaqi dalam al- Madkhal, hal. 233 dan Khathib al-Baghdadi dalam Syaraf Ashhaabil- Hadiits. no. 6.
[8] . Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad, no. 3600, dan sanadnya dishahihkan oleh Ahmad Syakir. Diriwayatkan pula oleh Hakim dalam al-Mustadrak, juz III, hal. 78, dan Thabrani dalam al-Mu’jamul- Kabiir, juz IX, hal. 8582. Sanandnya dishahihkan oleh Albaani dalam as- Silsilatudh- Dha’iifah: II/17. Sedangkan yang dianggap marfu’ (sampai kepada Rasulullah r) dinyatakan oleh al- Albani bahwa itu tidak ada sumbernya.
[9] . Ibnu Taimiyah, Majmu’-Fataawa: IV/149.
[10] . Al-Fawaaidu -Sunniyyah, hal. 27.
[11] . Lihat asy- Syarhastani, al- Milal wan- Nihal: I/104, Ibnu Taimiyah berkata: “Sesungguhnya para ahli bid’ah yaitu kalangan ahli filsafat dan para pengekornya yang lebih mengutamakan metode Khalaf dari pada metode Salaf, beranggapan bahwa metode Salaf hanya sebatas iman terhadap lafaz-lafaz Qur’an dan Hadits saja tanpa memahaminya, seperti orang-orang buta huruf yang tidak mengetahui Qur’an selain angan-angan, sedangkan metode Khalaf adalah mengeluarkan ma’na nash-nash yang dipalingkan dari hakikat yang sebenarnya dengan barbagai macam majaz (arti yang jauh) dan bahasa-bahasa yang asing.
Inilah anggapan yang salah yang melahirkan pernyataan tadi (Metode Salaf lebih selamat…) yang pada intinya adalah mencampakkan Islam dan membuat kedustaan di atas metode Salaf, sebagaimana mereka tersesat karena membenarkan metode Khalaf. Dengan demikian mereka telah menggabungkan kebodohan tentang metode Salaf dengan kesesatan karena membenarkan metode Khalaf.
Hal itu disebabkan karena mereka beranggapan bahwa tidak ada sifat yang ditunjukkan oleh nash-nash ini-karena kekeliruan mereka yang jauh-, dengan demikian berarti mereka berserikat dengan saudara-saudara mereka yang kafir. Lalu ketika mereka beranggapan bahwa sifat-sifat itu tidak ada, namun nash-nash yang ada harus memiliki makna, membuat mereka bingung menentukan apakah mengimani lafaz dan menyerahkan maknanya –yang mereka sebut dengan metode Salaf-, atau memaknai lafaz dengan makna lain secara dipaksakan –yang mereka sebut dengan metode Khalaf-, sehingga kesalahan menjadi bertumpuk antara kerusakan akal dan kekufuran terhadap wahyu.” Lihat Majmu’ Fataawaa: V/ 8-9.
[12] . Al-Tuhaf fii Madzhab al-Salaf, hal.3-4.
[13] . Hilyah Thaalib al-‘Ilm, hal. 34.