KALA IMAN DAN ILMU BERSATU PADU

(Refleksi Kehidupan Ulama Dambaan Umat)

Oleh : Ust. Abu Muhammad

” يرفع الله الذين آمنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات والله بما تعملون خبير “

“ niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” ( Al-Mujaadilah ; 11 )
Tidak diragukan lagi bahwa ilmulah yang menjadikan manusia makhluk yang paling beruntung dan mulia di dunia ini, dan dengan ilmu pulalah derajat dan kedudukan seseorang lebih tinggi dari yang lainnya. Namun, perlu diingat bahwa yang akan menambah tinggi derajat manusia di sisi Allah I adalah ilmu yang dilandasi iman yang kuat sebagaimana yang diisyaratkan dalam ayat di atas, yang mana bila keduanya telah benar-benar bersatu padu dalam diri seseorang, nisacaya membuatnya semakin merasa dekat dengan Allah I, tidak ada yang paling dicintai olehnya selain Allah I, tidak ada yang diharapkan selain keridoan Allah I dan tidak ada yang paling ditakuti selain Allah I. Orang yang memiliki karakter seperti ini disebut ulama yang berhak mendapat pujian dari Allah I dalam firmanNya :

إِنَّمَا يَخْشَى الله مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء ” ( فاطر :28)”

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.
Sedangkan ilmu yang tidak dilandasi iman, hanya akan semakin menjauhkan pemiliknya dari Allah I. Setinggi apapun ilmu seseorang bila tidak menyatu dengan iman, niscaya membuat derajatnya semakin rendah di sisi Allah I. Allah I mencela perilaku sebagian ulama Yahudi dan Nasrani yang berbuat jahat, memakan harta manusia dan menghalangi manusia dari jalan Allah, padahal mereka adalah orang-orang yang berilmu, namun ilmu mereka tidak menyatu dengan iman :

” يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ ” ( التوبة : 34 )

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah”
Pada kesempatan ini, kami ingin mengajak anda berkenalan dengan seorang ulama terkemuka dari Madzhab Syafi’i, yaitu Imam Muhyiddîn Abû Zakariyâ Yahyâ bin Syaraf al-Nawawi, yang lebih terkenal dengan sebutan Imam Nawawi. Beliau lahir pada tahun 630 H dan meninggal pada tahun 676 H di kota Nawa. Beliau adalah ulama yang tekenal intelektualitasnya di seluruh dunia Islam melalui karya-karyanya yang diakui oleh ulama-ulama sesudahnya, yang masih menjadi bahan rujukan dan bacaan umat Islam hingga sekarang, sebutlah misalnya kitab ‘Arb’iin Nawawiyyah dan Riyâdh al-Shâlihîn dua kitab kumpulan hadits yang sangat populer di kalangan pesantren di Indonesia.
Beliau adalah tipe ulama yang memiliki iman dan ilmu yang telah bersatu padu, selalu konsisten dengan beramar ma’ruf nahi munkar, berani menyampaikan kebenaran di mana pun dan di hadapan siapa pun, sampai di hadapan penguasa sekalipun. Beliau banyak menulis surat kepada penguasa yang berisi nasihat agar mereka selalu memperhatikan keadaan rakyat terutama pada saat rakyat mendapatkan musibah atau bencana.
Di antara salah satu bukti ketegaran Beliau dalam menyampaikan kebenaran adalah ketika beliau berhadapan dengan raja Zhâhir Baibars yang berkuasa di Syam pada saat itu.
Ketika mendapat kabar bahwa pasukan Mongol Tatar akan bergerak menuju Syam, setelah mereka berhasil menaklukkan dan menghancurkan kota Baghdad, Raja Zhâhir Baibars segera menyiapkan rencana untuk menghadapi mereka. Maka segera ia meminta kepada para ulama yang ada di Syam untuk mengeluarkan fatwa bolehnya memungut sebagian harta dari rakyat untuk membiayai pasukan yang akan disiapkan untuk menghadapi pasukan Mongol Tatar.
Maka para ulama segera mengeluarkan fatwa yang diminta. Namun ada seorang ulama yang menolak untuk ikut mengluarkan fatwa bersama mereka, yaitu Imam Nawawi. Sang Raja pun segera memanggilnya ke istana.
“Kenapa Anda menolak mengeluarkan fatwa yang aku minta seperti para ulama lain ? “ tanya Zhâhir.
Imam Nawawi dengan lantang menjawab :“Aku tahu bahwa sebenarnya engkau dulu adalah seorang hamba sahaya, dan tidak punya harta sedikitpun, lalu Allah I memberi ni’mat kepadamu dan menjadikan kamu raja. Aku mendengar bahwa sekarang engkau memiliki seribu budak laki-laki yang masing-masing memiliki sekantung emas, dan engkau memiliki dua ratus budak perempuan yang masing-masing memiliki sekantung perhiasan. Seandainya engkau telah mengeluarkan semua hartamu itu untuk membiayai pasukan perang, maka aku bersedia mengeluarkan fatwa bolehnya memungut sebagian harta dari rakyat untuk membiayai pasukan perang.”
Mendengar jawaban Imam Nawawi itu, meledaklah kemarahan Zhâhir seraya berkata : “ Keluarlah kamu dari kerajaanku ini ! “
“Aku mengerti dan aku akan menaati perintah tuan “ kata Imam Nawawi dengan tenang , lalu ia pun keluar dari Syam dan pergi ke kota Nawa.
Begitulah sikap kesatria yang ditunjukkan oleh Imam Nawawi yang menunjukkan keberaniannya menyampaikan kebenaran dan beramar ma’ruf nahi munkar, demi melindungi umat dari kedzaliman penguasa walaupun ia harus menanggung resiko diusir dari negerinya.
Apa yang dilakukan oleh Imam Nawawi ini adalah satu tauladan yang perlu diikuti oleh para ulama sesudahnya. Ulama harus menjadi juru bicara umat yang selalu memperjuangkan kepentingan umatnya, bukan menjadi juru bicara penguasa yang selalu membela kepentingan penguasa padahal itu merugikan umat.
Kita sangat bersedih melihat banyak ulama sekarang yang senang mendekati penguasa, bahkan ada ulama yang berani mengeluarkan fatwa-fatwa yang bertujuan melanggengkan kekuasaan sang penguasa, dengan membuat-buat dalil yang sungguh tidak pantas untuk dijadikan dalil.
Kita khawatir bila ulama-ulama semacam itu termasuk kepada apa yang diisyaratkan oleh Rasulullah r dalam sabdanya :

” يَخْرُجُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ رِجَالٌ يَخْتِلُونَ الدُّنْيَا بِالدِّينِ يَلْبَسُونَ لِلنَّاسِ جُلُودَ الضَّأْنِ مِنَ اللِّينِ أَلْسِنَتُهُمْ أَحْلَى مِنَ السُّكَّرِ وَقُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الذِّئَابِ ” ( رواه أحمد )

“Akan keluar di akhir zaman orang-orang yang mencari dunia dengan mengorbankan agama, mereka di hadapan manusia bagaikan memakai baju dari bulu domba, lidah mereka lebih manis dari gula akan tetapi hati mereka bagaikan hati serigala.“ ( H. R. Ahmad )
Pada saat ini kita khususnya umat islam di Indonesia sangat membutuhkan ulama-ulama yang mengikuti jejak langkah Imam Nawawi untuk mengeluarkan umat Islam dari berbagai musibah dan malapetaka yang semakin banyak menelan korban. Umat Islam tidak membutuhkan ulama-ulama yang hanya menjadi juru bicara penguasa, atau menggunakan ilmunya untuk mereguk keni’matan dunia yang hanya sementara lewat tangan-tangan penguasa, atau rela menjual iman dan ilmunya untuk mengeruk harta yang hanya akan menambah beban dan dosa.
Mudah-mudahan Allah I segera menyadarkan semua umat Islam terutama para ulamanya untuk segera kembali ke jalanNya, sebelum umat ini jatuh ke dalam jurang kehancuran. Amiin.

×

 

Bismillah...

Klik kontak kami di bawah ini untuk mengobrol di WhatsApp

× WhatsApp