HUKUM MENYEWAKAN TANAH
Oleh: Abu Muhammad
Termasuk bagian dari muamalah yang banyak dilakukan oleh kaum Muslimin terutama negara kiita, adalah sewa menyewa tanah. Bagaimana sebenarnya hukum menyewakan tanah dalam syari’at Islam ?
A. Meyewakan tanah dengan bayaran uang
Masalah menyewakan tanah dengan bayaran uang telah menjadi bahan perbincangan para ulama sejak dulu. Di antara mereka ada dua pendapat yang berbeda:
Pertama. Thawus dan al-Hasan berpendapat bahwa menyewakan tanah dengan bayaran uang hukumnya makruh. Dalil mereka adalah hadits yang diriwayatkan Rafi’ bin Khadij t:
” أَنَّ النَّبِيَّ e نَهَى عَنْ كِرَاءِ الْمَزَارِعِ “
“ Sesungguhnya Nabi e melarang menyewakan sawah “ (Muttafaq ‘alaih)
Kedua. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa menyewakan tanah dengan bayaran uang hukumnya mubah.
Ibn al- Mundzir berkata: “Telah sepakat umumnya ahli ilmu bahwa menyewakan tanah dalam waktu yang diketahui adalah boleh dengan bayaran emas dan perak.
Imam Ibnu Quddamah berkata: “Kami meriwayatkan pendapat ini (bolehnya menyewakan tanah dengan emas dan perak) dari Sa’d, Rafi’ bin Khadij, Ibnu Umar, al-Harits dan Ibnu Abbas. Ini juga adalah pendapat Malik, al-Laits, asy-Syafi’i, Ishaq, Abu Tsaur dan ashhaab ar-ra’y (ulama-ulama di Iraq).”
Dalil pendapat ini adalah :
1. Hadits yang diriwayatkan oleh Rafi’ bin Khadij t seperti hadits di atas, dengan tambahan keterangan dari Rafi’ sebagai orang yang lebih tahu tentang apa yang diriwayatkannya, sebagaimana dituturkan oleh Handzalah bin Qais :
” عَنْ حَنْظَلَةَ بْنِ قَيْسٍ قَالَ: سَأَلْتُ رَافِعَ بْنَ خَدِيجٍ عَنْ كِرَاءِ الْأَرْضِ. فَقَالَ: “نَهَى رَسُولُ اللَّهِ e عَن كِرَاءِ الأَرْضِ.” قُلْتُ: “بِالذَّهَبِ وَالْوَرِقِ ؟” قَالَ :” لَا، إِنَّمَا نَهَى عَنْهَا بِمَا يَخْرُجُ مِنْهَا فَأَمَّا الذَّهَبُ وَالْفِضَّةُ فَلَا بَأْسَ “
Dari Handzalah bin Qais, ia berkata: “Aku bertanya kepada Rafi’ bin Khadij tentang menyewakan tanah. Ia menjawab: “Rasulullah e melarang menyewakan tanah.” Aku bertanya : “ Dengan emas dan perak?” Ia menjawab : “ Tidak, tetapi Beliau melarang menyewakan tanah dengan (bayaran) apa yang dihasilkan tanah itu. Sedangkan dengan emas dan perak, tidak apa-apa.” (Muttafaq ‘alaih)
– penuturan az- Zuhri tentang apa yang dilakukan oleh Rafi’ sendiri, bahwa ia suka menyewakan tanah.
أَنَّ سَالِمَ بْنَ عَبْدِاللَّهِ قَال: أَخْبَرَ رَافِعُ بْنُ خَدِيجٍ عَبْدَاللَّهِ بْنَ عُمَرَ أَنَّ عَمَّيْهِ وَكَانَا شَهِدَا بَدْرًا أَخْبَرَاهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ e نَهَى عَنْ كِرَاءِ الْمَزَارِعِ. قُلْتُ لِسَالِم: “فَتُكْرِيهَا أَنْتَ؟” قَالَ : ” نَعَمْ إِنَّ رَافِعًا أَكْثَرَ عَلَى نَفْسِهِ”
Salim bin Abdillah berkata: “Rafi’ bin Khadij memberitahu Ibnu Umar bahwa kedua pamannya yang hadir dalam perang Badar, memberitahu kepadanya bahwa Rasulullah e melarang menyewakan tanah. Aku bertanya kepada Salim: “Tapi anda sendiri menyewakan tanah?” Salim menjawab: “Ya, karena Rafi’ sendiri suka melakukannya.” (H.R,Muslim)
2. Hadits yang diriwayatkan Sa’ad bin Abi Waqqash t :
كُنَّا نُكْرِي الأَرْضَ بِمَا عَلَى السَّوَاقِي مِنَ الزَّرْعِ وَمَا سَعِدَ بِالْمَاءِ مِنْهَا فَنَهَانَا رَسُولُ e عَنْ ذَلِكَ وَأَمَرَنَا أَنْ نُكْرِيَهَا بِذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ”
Dulu kami biasa menyewakan tanah dengan bayaran hasil dari bagian tanah yang dekat dengan sungai dan tanah yang banyak mendapat air. Maka Rasulullah e melarang kita dari itu, dan menyuruh kita untuk menyewakan tanah dengan bayaran emas atau perak. (H.R. Ahmad dan Abu Dawud)
3. Karena tanah adalah benda yang bisa diambil manfaat yang mubah darinya tanpa menghilangkan bendanya, maka dia boleh disewakan dengan bayaran barang berharga dan yang sejenisnya, seperti halnya bangunan.
B. Menyewakan tanah dengan bayaran barang (bahan makanan)
Dalam hal ini ada tiga bentuk :
1. Dengan bayaran bahan makanan tertentu yang bukan dari hasil tanah sewaan tersebut.
Dalam bentuk pertama ini ada dua pendapat di kalangan ulama :
Pertama. Kebanyakan ulama menyatakan kebolehan akad ini. Di antara mereka yang membolehkan adalah : Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah, Asy-Syafi’i, Abu Tsaur dan ulama Iraq.
Dalil mereka adalah :
a. Penjelasan Rafi’ bin Khadij
” كَانَ النَّاسُ يُؤَاجِرُونَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ e بِمَا عَلَى الْمَاذِيَانَاتِ وَأَقْبَالِ الْجَدَاوِلِ وَأَشْيَاءَ مِنَ الزَّرْعِ …وَلَمْ يَكُنْ لِلنَّاسِ كِرَاءٌ إِلَّا هَذَا فَلِذَلِكَ زَجَرَ عَنْهُ فَأَمَّا شَيْءٌ مَضْمُونٌ مَعْلُومٌ فَلَا بَأْسَ بِهِ “
“Dahulu orang-orang di masa Rasulullah e biasa menyewakan tanah dengan bayaran hasil dari bagian tanah yang ada di tepi aliran air dan samping sungai dan bagian-bagian tertentu dari tanaman Pada saat itu seperti inilah penyewaan tanah, karena itulah Rasulullah e melarangnya, sedangkan dengan (bayaran) sesuatu yang terjamin dan diketahui tidak apa-apa.” (H.R. Abu Daud)
b. Bahwa pembayaran seperti ini terjamin dan diketahui, sehingga tidak menjadi jalan menuju riba.
Kedua. Imam Malik berpendapat bahwa akad seperti ini tidak dibolehkan. Dalilnya adalah sabda Rasulullah e :
” مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلَا يُكْرِيهَا بِطَعَامٍ مُسَمَّى ”
“ Barang siapa mempunyai tanah, janganlah ia menyewakannya dengan bayaran bahan makanan yang ditentukan.” (H.R. Abu Daud dan Ibnu Majah)
2. Dengan bayaran bahan makanan dari hasil tanah sewaan tersebut. Dengan ditentukan jumlahnya, seperti 1 ton, 1 kwintal … dst.
Dalam bentuk kedua ini ada dua pendapat pula:
Pertama. Imam Abu Hanifah, Syafi’i, Ahmad (dalam salah satu riwayat) dan Abul Khothtob (dari madzhab Hambali) menyatakan bolehnya akad ini. Dengan alasan seperti alasan pada bentuk pertama.
Kedua. Imam Malik dan Ahmad (dalam riwayat yang lain) menyatakan bahwa akad seperti ini tidak boleh dilakukan. Dengan alasan :
Bahwa akad seperti ini adalah jalan menuju muzara’ah dengan sesuatu yang telah ditentukan dari hasil tanah tersebut.
3. Dengan bayaran bahan makanan dari hasil tanah sewaan tersebut, Dengan tidak ditentukan jumlahnya, tapi nisbahnya seperti seperempat, setengah… dst.
Dalam bentuk ketiga ini juga ada dua pendapat :
Pertama. Imam Ahmad dan kebanyakan ulama madzhab Hambali menyatakan bolehnya akad seperti ini.
Kedua. Imam Hanafi, Syafi’i dan Abul Khotthob (madzhab Hambali) menyatakan bahwa akad ini tidak sah. Dengan alasan: Adanya jahalah (ketidak jelasan) dalam sewaan, yang mana hal ini tidak dibenarkan dalam akad ijarah.