HANYA UNTUK ALLAH SEMATA
Oleh: Ust. Ade Hermansyah, Lc
Dalam kitab Shifat al–Shafwah, Ibnul Jauzy mengangkat sebuah kisah yang dialami dan dituturkan oleh seorang ulama besar di Madinah Nabawiyyah, Muhammad Ibnul Munkadir yang meninggal pada tahun 130 H.
Mari kita simak penuturannya!
Setahun sudah musim kemarau berlangsung di Madinah, seluruh penduduk Madinah telah melasanakan shalat istisqa, namun hujan belum juga turun. Pada malam harinya, setelah selesai shalat isya aku duduk bersandar ke salah satu tiang di Masjid Rasulullah r ini, yang selalu aku tempati tiap malam. Tiba-tiba datang seorang laki-laki yang mengenakan satu kain besar dan di lehernya satu kain kecil. Ia berdiri menghadap ke sebuah tiang yang ada di depanku sehingga aku berada tepat di belakangnya, lalu ia shalat dua raka’at. Setelah selesai shalat, ia duduk kemudian berkata: “Ya Allah! penduduk kota Nabi-Mu meminta hujan kepada-Mu namun Engkau tidak memberi mereka hujan, maka aku bersumpah dengan nama-Mu agar Engkau menurunkan hujan bagi mereka “.
“Gilakah orang ini “ gumamku dalam hati.
Namun ternyata, tak lama setelah orang itu meletakkan tangannya, aku mendengar suara petir dan hujan pun turun. Ketika mendengar hujan ia bersyukur kepada Allah I dan mengucapkan kata-kata pujian kepada Allah I yang baru pertama kali aku dengar.
Kemudian dia shalat sampai mendekati waktu shubuh, lalu ia shalat witir, dan shalat dua raka’at fajar. Setelah itu ia masuk ke dalam shaf dan melaksanakan shalat shubuh bersama jama’ah mesjid. Setelah selesai shalat, ia segera pergi, aku mengikutinya sampai di pintu mesjid, namun aku tidak bisa mengikutinya lagi setelah ia keluar dari pintu mesjid, sehingga aku tidak tahu ke mana ia pergi.
Pada malam berikutnya, sebagaimana biasa setelah shalat isya aku duduk bersandar di tiang mesjid Rasulullah r yang biasa aku tempati. Ternyata orang itu datang lagi, lalu berdiri di tempat yang sama dengan kemarin, lalu shalat dengan khusyu’nya, sampai mendekati waktu shubuh, lalu ia shalat witir, shalat dua raka’at fajar. Setelah itu ia masuk ke dalam shaf dan melaksanakan shalat shubuh bersama jama’ah mesjid. Setelah selesai shalat, ia segera keluar dari mesjid. Aku mengikutinya dari belakang sampai ia masuk ke sebuah rumah, setelah itu aku kembali ke mesjid.
Pagi harinya setelah selesai shalat dhuha, aku keluar dari mesjid dan pergi menuju ke rumah orang tadi. Aku dapatkan dia sedang duduk, ternyata di seorang tukang sepatu .
Ketika melihat kedatanganku, segera ia menyambut. “Selamat datang wahai Ibnul Munkadir! Anda menginginkan sesuatu? Anda ingin dibuatkan sepatu?“ begitulah ia menyambutku. Aku pun segera duduk.
Bukankah engkau yang tadi malam berada di mesjid?” kataku membuka pembicaraan untuk sampai kepada maksudku, yaitu mengetahui siapa dia sebenarnya. Namun, di luar dugaanku, tiba-tiba saja mukanya memerah, sepertinya ia marah.
“Wahai Ibnul Munkadir! apa urusanmu dengan yang malam itu?” katanya setengah berteriak. Aku merasa takut dan merasa bersalah, maka aku segera meninggalkannya.
Pada malam ketiga, setelah selesai shalat isya aku menunggu kedatangan orang itu, namun ternyata orang itu tidak datang lagi.
“ Mungkin ini karena kesalahanku tadi pagi” gumamku dalam hati.
Paginya, setelah selesai shalat dhuha, aku segera pergi menuju ke rumahnya. Namun alangkah kagetnya aku, ketika sampai di rumah itu, aku lihat pintunya terbuka dan tidak ada sesuatupun di dalamnya. Aku tanyakan kepada pemilik rumah tentang apa yang terjadi. Pemilik rumah itu berkata kepadaku: “Ada apa antara kamu dengan dia kemarin wahai Ibnul Munkadir?, begitu kamu meninggalkan rumah ini, dia segera membereskan seluruh benda miliknya, lalu ia pergi entah ke mana.”
Aku datangi seluruh rumah yang ada di Madinah, kalau-kalau dia pindah rumah. Namun aku tidak mendapatkannya .
Ini adalah salah satu dari sekian kisah tentang orang-orang shalih yang dikenang keshalihannya namun tidak dikenal jati dirinya, dialah yang suka disebut oleh para ulama: “orang yang tidak dikenal oleh penduduk bumi, tapi dikenal oleh yang ada di langit.”
Pantas jika permohonan si tukang sepatu itu lebih diperhatikan oleh Allah I daripada permohonan ribuan orang penduduk Madinah pada saat itu.
Si tukang sepatu tadi memberi pelajaran kepada kita akan pentingnya ikhlas yaitu melakukan ibadah hanya untuk Allah I semata, dia tidak rela ibadahnya diketahui oleh orang lain. Lihatlah! ketika ia menyadari sudah ada orang yang mengetahui apa yang ia lakukan, ia pun segera pergi. Lain dengan kebiasaan kita umumnya, yang akan merasa senang dan bangga bila kebaikan kita diketahui oleh orang lain, bahkan ada yang sengaja memberitahu orang lain agar ia mendapat pujian. Padahal ini merupakan sebuah bahaya besar yang sangat ditakuti oleh Rasulullah r, sebagaimana sabdanya :
” إن أخوف ما أخاف عليكم الشرك الأصغر” قالوا: ” يا رسول الله وما الشرك الأصغر ؟ قال: ” الرياء ، إن الله تبارك وتعالى يقول يوم تجازى العباد بأعمالهم ” اذهبوا إلى الذين كنتم تراءون بأعمالكم في الدنيا فانظروا هل تجدون عندهم جزاء “ ( رواه أحمد )
“ Sesungguhnya satu hal yang paling aku takuti dari kalian adalah syirik kecil,” Para sahabat bertanya : “ Ya Rasulullah ! apakah syirik kecil itu ?” Rasulullah menjawab : “ Riya (berbuat sesuatu karena ingin dilihat orang lain), sesungguhnya Allah Yang Maha Agung dan Maha Mulia akan berkata pada hari di mana seluruh hamba akan mendapatkan balasan atas seluruh perbuatan mereka : “ Pergilah kalian kepada orang-orang yang kalian perlihatkan amalan kalian kepada mereka, kemudian lihatlah apakah kalian mendapatkan balasan (pahala) dari mereka ?” ( H.R. Ahmad )[1]
Sudah menjadi tabi’at manusia bahwa ia ingin dipuji, dihargai dan dihormati. Tapi akankah kita biarkan seluruh amal ibadah kita menjadi sia-sia belaka karena kita mengharapkan pujian dan penghargaan manusia? Agaknya kita harus merenungkan kembali segala amal ibadah kita, untuk siapakah amal ibadah itu kita lakukan? Jangan sampai kita menjadi orang yang paling merugi, yaitu orang yang mengira telah berbuat baik, tapi sebenarnya ia berbuat jelek, sebagaimana firman Allah I :
قل هل ننبئكم بالأخسرين أعمالا الذين ضل سعيهم في الحياة الدنيا وهم يحسبون أنهم يحسنون صنعا ( الكهف : 103 – 104)
“Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. “ ( Al- Kahfi ; 103 – 104 )
Namun apabila seseorang telah beramal baik dengan mengharapkan keridoan Allah I semata, lalu ada orang yang memujinya, maka pujian ini tidak akan merusak amal baiknya, asalkan pujian itu tidak membuatnya lupa pada niatnya semula. Sebagaimana Rasulullah r pernah ditanya tentang itu oleh para sahabat, maka beliau menjawab :
” تِلْكَ عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِن ” ( رواه مسلم )
“ Itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mu’min. “ ( H. R. Muslim )
Wallaahu A’lam.
Sumber :
Shifatush- Shofwah karya Ibnul Jauzy, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah Beirut , th. 1989
[1] Hadits ini dinyatkan shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami, no. 1555.