Diantara perkara-perkara yang disangka merusak keikhlasan, bahkan dianggap perbuatan kesyirikan adalah: Beribadah disertai dengan niat mencari kemaslahatan dunia yang dizinkan oleh syari’at

Banyak dalil yang menunjukan akan hal ini, diantaranya firman Allah

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلا مِنْ رَبِّكُمْ

Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu” (QS Al-Baqoroh : 198)

Para ulama telah sepakat bahwa seseorang yang melaksanakan ibadah haji sambil berdagang maka hajinya sah, berdasarkan ayat ini. Tentunya seseorang yang berhaji sambil berdagang tidaklah ia memaksudkan dengan perdagangannya untuk riyaa’. Karenanya perdagangannya tersebut bukanlah kesyirikan. Akan tetapi niatnya adalah ia berhaji sambil berdagang, dan berdasarkan ayat ini Allah membolehkan niat seperti ini.

Contoh lagi sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

دَاوُوْا مَرْضَاكُمْ بِالصَّدَقَةِ

“Obati orang-orang sakit diantara kalian dengan sedekah” (Dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhiib no 744)

Hadits ini menunjukan akan bolehnya seseorang bersedekah dengan niat agar orang yang sakit dari keluarganya disembuhkan oleh Allah dengan sebab sedekah tersebut.

Nabi juga bersabda :

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ رِزْقُهُ أَوْ يُنَسَّأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Barang siapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaknya ia menyambung silaturahmi” (HR Al-Bukhari no 2067 dan Muslim no 2557)

Hadits ini jelas menunjukkan akan bolehnya seseorang bersilaturahmi dengan niat agar dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya.

Bahkan Allah berfirman

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (٢)وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ

Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. (QS At-Tholaaq : 2-3)

Ayat ini jelas bahwsanya boleh seseorang bertakwa kepada Allah dengan niat agar diberi jalan keluar oleh Allah dan diberi rizki dari arah yang tidak ia persangkakan.

Sebagian ulama menyangka bahwasanya jika dalam ibadah tercampurkan/tersyarikatkan niat-niat keduniaan maka ibadah tersebut tidak sah. Akan tetapi hal ini merupakan kesalahan. Al-Imam Al-Qoroofi salah seorang ulama besar dari madzhab Maliki telah menjelaskan dengan gamblang tentang perbedaan antara riyaa’ dengan mencampurkan niat keduniaan dalam ibadah. Al-Qorofi rahimahullah berkata :\

“Perbedaan yang ke 102, antara kaidah riyaa’ dalam peribadatan dengan kaidah tasyriik (mencampurkan niat keduaniaan-pen) dalam ibadah.

Ketahuilah bahwasanya riyaa’ dalam peribadatan adalah syirik, serta mempersyerikatkan bersama Allah dalam ketaatannya. Dan hal ini melazimkan kemaksiatan dan dosa, serta batilnya ibadah tersebut….

Penjelasan kaidah (riyaa’) ini dan rahasainya adalah seseorang mengamalkan suatu amalan yang diperintahkan untuk bertaqorrub dan dia memaksudkan dengan amalan tersebut wajah Allah dan juga agar orang-orang mengagungkannya atau sebagian orang, maka dengan diagungkannya dia sampailah kemanfaatan orang-orang tersebut kepadanya atau ia terhindarkan dari gangguan mereka. Ini adalah kaidah dari salah satu dari dua model riyaa’.

Adapun model yang lain, yaitu ia beramal dengan suatu amalan yang ia sama sekali tidak mengharapkan wajah Allah, akan tetapi ia hanya ingin (pengagungan/sanjungan) manusia saja. Model ini dinamakan dengan riyaa yang murni, adapun model yang pertama dinamakan dengan riyaa’ syirik, karena model ini tidak ada pensyarikatan, semata-mata mengharapkan pujian manusia saja, adapun model yang pertama pensyarikatan antara manusia dan Allah….

Adapun hanya sekedar pensyarikatan –seperti seseorang yang berjihad untuk menjalankan ketaatan kepada Allah dengan berjihad dan juga untuk memperoleh harta gonimah- maka hal ini tidaklah memudhorotkannya, serta ijmak (kesepakatan/konsensus) ulama bahwasanya hal ini tidak haram baginya, karena Allah menjadikan harta gonimah dalam ibadah jihad. Maka tentunya ada perbedaan antara seseorang yang berjihad agar orang-orang mengatakan “ia adalah seorang pemberani”, atau agar sang imam/pemimpin negara menghormatinya sehingga memberikannya banyak harta dari baitul maal, maka hal ini dan yang semisalnya adalah riyaa’ yang haram. Berbeda dengan seseorang yang berjihad untuk memperoleh budak tawanan wanita, hewan tunggangan perang, dan persenjataan musuh, maka hal ini tidaklah memudorotkannya, padahal ia telah mensyerikatkan (niatnya-pen). Dan tidaklah dikatakan bahwasanya hal ini adalah riyaa, karena riyaa’ adalah ia beramal agar makhluk Allah melihatnya… maka barangsiapa yang tidak melihat dan tidak memandang maka tidaklah dikatakan pada suatu amalan –dari sisinya- adalah riyaa’. Harta gonimah dan yang semisalnya tidaklah dikatakan ia melihat atau memandang, maka tidaklah benar jika dikatakan lafal riyaa’ kepada benda-benda ini karena mereka tidak melihat.

Demikian pula seseorang yang haji lalu mensyarikatkan dalam hajinya maksud untuk berdagang, yaitu mayoritas tujuannya atau bahkan seluruhnya adalah bersafar untuk berdagang secara khusus, dan hajinya –ia maksudkan atau tidak- akan tetapi hanya bersifat mengikuti tujuan dagangnya. Hal ini juga tidaklah merusak keabsahan hajiaya, dan tidak menimbulkan dosa dan kemaksiatan.

Demikian pula orang yang berpuasa agar tubuhnya sehat, atau agar hilang penyakitnya yang bisa disembuhkan dengan puasa, maka jadilah penyembuhan merupakan tujuannya atau diantara tujuannya dan puasa dibarengkan dalam tujuannya. Lalu ia melakukan puasa disertai dengan tujuan-tujuan ini. Hal ini tidaklah merusak puasanya, bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan dalam sabdanya, “Wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian yang telah mampu maka menikahlah, barang siapa yang tidak mampu maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa bisa menjadi perisai baginya”, yaitu pemutus syahwatnya. Maka Nabi memerintahkan berpuasa untuk tujuan ini, jika hal ini bisa merusak keabsahan puasa, tentunya Nabi tidak akan memerintahkan hal ini dalam peribadatan, dan juga tidak menyertakan tujuan ini dalam niat ibadah. Diantaranya juga orang yang memperbarui wudhunya agar lebih segar dan lebih bersih.

Seluruh tujuan-tujuan ini tidaklah terdapat padanya pengagungan makhluk. Akan tetapi hanyalah pensyerikatan perkara-perkara kemaslahatan yang tidak memiliki indra, dan tidak bisa memiliki indra (penglihatan) dan tidak layak untuk diagungkan. Maka hal ini tidaklah merusak keabsahan ibadah…

Benar bahwasanya tujuan-tujuan ini yang mencampuri ibadah bisa jadi mengurangi ganjaran ibadah. Ibadah yang tujuannya murni dan bersih dari tujuan-tujuan duniawi ini maka pahalanya lebih besar dan banyak. Adapun dosa dan batilnya ibadah maka tidaklah ada dalilnya” (Al-Furuuq li Al-Qoroofi, tahqiq : Umar Hasan Al-Qiyyaam, Muassasah Ar-Risalah, cetakan pertama 3/10-12)

Akan tetapi tentunya ada perbedaan antara seseorang yang niatnya murni semata-mata karena mencari ganjaran akhirat, lantas setelah itu ia memperoleh kenikmatan-kenikmatan dunia. Maka orang yang seperti ini tentunya tidak berkurang sama sekali pahalanya. Berbeda dengan seseorang yang sejak awal beribadah dalam niatnya sudah tercampur niat keduniaan (untuk memperoleh harta dunia) maka orang inilah yang pahalanya berkurang. (Lihat Ihkaam Al-Ahkaam karya Ibnu Daqiiq al-‘Ied hal 492, tahqiq Mushthofa syaikh, terbitan Muassasah Ar-Risalah, cetakan pertama)

Seorang yang berjihad niatnya semata-semata untuk menegakkan kalimat Allah dan berharap ganjara akhirat, lantas setelah itu ia memperoleh gonimah harta rampasan perang musuh maka pahalanya sempurna. Karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallampun serta para sahabat mengambil harta rampasan perang. Berbeda halnya dengan seseorang yang sejak awal berangkat berjihad niatnya sudah tercampur dengan tujuan untuk memperoleh harta rampasan perang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ;

مَا مِنْ غاَزِيَةٍ تَغْزُو فِي سَبِيْلِ اللهِ فَيُصِيْبُوْنَ الْغَنِيْمَةَ إِلاَّ تَعَجَّلُوا ثُلُثَيِ أَجْرِهِمْ مِنَ الآخِرَةِ وَيَبْقَى لَهُمُ الثُّلُثُ وَإِنْ لَمْ يُصِيْبُوا غَنِيْمَةً تَمَّ لَهُمْ أَجْرُهُمْ

“Tidaklah ada pasukan yang berjihad di jalan Allah lalu memperoleh harta gonimah kecuali mereka telah menyegerakan dua pertiga pahala akhirat mereka, dan tersisa bagi mereka sepertiga pahala akhirat mereka. Jika mereka tidak memperoleh gonimah maka sempurnalah pahala mereka” (HR Muslim no 1905)

Karenanya mungkin kita bisa membagi permasalahan ini dalam beberapa bagian berikut

Pertama :  Seseorang yang beribadah murni karena riyaa…, sama sekali tidak terbetik dalam hatinya keinginan untuk meraih pahal akhirat. Riyaa yang seperti ini jika selalu terjadi dalam peribadatan, maka hampir-hampir tidak dilakukan oleh seorang muslim, akan tetapi terjadi para orang-orang munafik

Kedua : Seseorang yang beribadah dengan riyaa’, ia mengharapkan wajah Allah, ia mengharapkan ganjaran akhirat, akan tetapi ia juga mengharapkan pujian manusia, sanjungan dan pengagungan dari mereka terhadap dirinya. Inilah riyaa’ yang sering menimpa kaum muslimin.

Ketiga : Seseorang yang tatkala beribadah sama sekali tidak terbetik dalam hatinya untuk memperoleh ganjaran akhirat, akan tetapi niatnya murni untuk mencari perkara duniawi, inilah yang dinamakan oleh Al-Qoroofi dengan Riyaa nya ikhlas/murni. Allah berfirman :

فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ

Maka di antara manusia ada orang yang bendoa: “Ya Tuhan Kami, berilah Kami (kebaikan) di dunia”, dan Tiadalah baginya bagian (yang menyenangkan) di akhirat. (QS Al-Baqoroh : 200)

Keempat : Seseorang yang beribadah murni ikhlash karena Allah, dan tidak ada dalam niatnya untuk memperoleh pujian manusia, dan juga tidak ada niat untuk memperoleh tujuan duniawi. Maka orang seperti ini pahalanya sempurna, meskipun setelah itu ternyata ia memperoleh perkara-perkara dunia, baik dipuji atau memperoleh harta dunia karena amalannya maka sama sekali tidak mempengarui kesempurnaan pahalanya.

Hal ini seperti seseorang yang setelah beramala sholeh lalu ia dipuji orang lain, dan kemudian dalam hatinya terbetik rasa gembira dengan pujian tersebut. Maka ini tidaklah mempengaruhi kesempurnaan pahala ibadanya yang telah ia kerjakan dengan ikhlas tanpa mengharapkan pujian manusia.

Ada yang menanyakan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَرَأَيْتَ الرَّجُلَ يَعْمَلُ الْعَمَلَ مِنَ الْخَيْرِ وَيَحْمَدُهُ النَّاسُ عَلَيْهِ قَالَ « تِلْكَ عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ ».

“Bagaimana pendapatmu dengan orang yang melakukan suatu amalan kebaikan, lalu setelah itu dia mendapatkan pujian orang-orang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Itu adalah berita gembira bagi seorang mukmin yang disegerakan.” (HR Muslim no 2642). An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ini pertanda bahwa Allah ridho dan mencintainya. Lalu Allah menjadikan makhluk/manusia mencintainya pula” (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 16/189)

Demikian pula seseorang yang berjihad ikhlash dan tidak terbetik dalam hatinya untuk mecari gonimah, lantas setelah itu iapun memperoleh harta gonimah.

Kelima : Seseorang yang beribadah ikhlash karena mengharapkan wajah Allah, akan tetapi ia menyertakan dalam niatnya tujuan-tujuan yang lain, maka kondisi orang ini ada tiga kemungkinan

(1)  Tujuan-tujuan tersebut juga merupakan tujuan yang mulia dan berkaitan dengan akhirat. Maka orang seperti ini memperoleh ganjaran yang ganda berdasarkan niat gandanya. Contohnya seseorang imam yang sengaja memperpanjang ruku’nya karena ia merasa ada makmum yang terlambat yang segera ingin ruku’ bersamanya agar memperoleh pahala raka’at. Maka imam ini telah melakukan dua kebaikan. Al-‘Iz bin Abdis Salaam berkata, “Apakah perbuatan seorang imam yang menunggu makmum masbuq agar mendapatkan ruku’ termasuk kesyirikan?. Aku katakan bahwasanya sebagian ulama menyangka perkaranya demikian, akan tetapi perkaranya tidak sebagaimana yang mereka sangka. Justru hal ini adalah bentuk mengumpulkan dua qurbah (amal sholeh), karena ia telah membantu makmum untuk mendapatkan ruku’ dan ini merupakan amal sholeh tersendiri” (Qowaa’id Al-Ahkaam Fi Mashoolih al-Anaam, karya Al-‘Izz bin Abdis Salaam 1/212, tahqiq DR Utsman Jum’at, Daarul Qolam)

Lalu Al-‘Izz bin Abdis Salaam menyebutkan dalil akan hal ini, yaitu bahwasanya ada seseorang yang sholat sendirian lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “أَلآ رَجُلٌ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلَيَ مَعَهُ؟” Adakah seseorang yang bersedekah terhadap orang ini, lalu sholat berjama’ah bersamanya?. (HR Abu Dawud 574 dan dishahihkan oleh Al-Akbani). Lalu ada seseorang yang sholat bersama orang tersebut. Dan Nabi tidak menjadikan amalan ini sebagai suatu bentuk riyaa’ atau kesyirikan (Lihat Qowaa’idul Ahkaam 1/213).

Dalil lain yang menunjukkan akan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

ِنِّي لَأَقُوْمُ إِلَى الصَّلاَةِ وَأَنَا أُرِيْدُ أَنْ أُطَوِّلَ فِيْهَا، فَأَسْمَعُ بُكاءَ الصَّبِيِّ، فأتَجوزُ؛ كراهِيَةَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمِّهِ

“Sungguh aku hendak sholat dan aku ingin memperpanjang sholatku, lalu aku mendengar tangisan anak kecil, maka akupun meringankan/mempercepat sholatku kawatir memberatkan ibunya” (HR Abu Dawud no 755 dan dishahihkan oleh Al-Albani)

عَنْ أَبِي قِلاَبَةَ قَالَ جَاءَنَا مَالِكُ بْنُ الْحُوَيْرِثِ فِي مَسْجِدِنَا هَذَا فَقَالَ إِنِّي لَأُصَلِّي بِكُمْ وَمَا أُرِيْدُ الصَّلاَةَ أُصَلِّي كَيْفَ رَأَيْتُ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي

Dari Abu Qilabah ia berkata, “Malik bin Al-Huwairits radhiallahu ‘anhu datang di masjid kami ini, lalu ia berkata, “Sesungguhnya aku akan sholat mengimami kalian, dan sebenarnya aku tidak ingin sholat, aku sholat sebagaimana aku melihat Nabi shlallallalhu ‘alaihi wa sallam sholat” (HR Al-Bukhari no 677).

Al-Hafiz Ibnu Hajr berkata, “Malik bin al-Huwaits memandang bahwa mengajari tata cara sholat dengan praktek lebih jelas dari pada dengan perkataan. Ini dalil akan bolehnya hal ini, dan hal ini tidak termasuk dalam bab kesyirikan dalam ibadah” (Fathul Baari 2/163)

(2)    Tujuan-tujuan tersebut berkaitan dengan dunia, akan tetapi diperbolehkan dalam syari’at berdasarkan dalil-dalil yang ada. Seperti seseorang yang bersilaturahmi selain ingin memperoleh pahala dari Allah ia juga ingin diperpanjang umurnya dan ditambah rizkinya. Atau seseorang yang bersedekah selain karena berharap pahala akhirat ia juga ingin sedekah tersebut sebagai sebab kesembuhan penyakit salah satu anggota keluarganya. Maka dzohir dalil-dalil tersebut menunjukkan bahwa niat-niat keduniaan seperti ini tidak mengurangi kesempurnaan pahala ibadahnya. Karena tidak mungkin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memotivasi untuk beribadah dengan ganjaran dunia yang bisa mengurangi kesempurnaan pahala akhirat. Nabilah yang memotivasi untuk memperpanjang umur dan lapangnya rizki dengan bersilaturahmi.

(3)    Tujuan-tujuan tersebut berkaitan dengan dunia, akan tetapi tidak ada nash/dalil khusus yang menjelaskan akan kebolehannya. Contoh tidak ada dalil bahwasanya jika seseorang menjadi imam masjid lantas akan dilapangkan rizkinya, atau seseorang yang berdakwah akan ditambah rizkinya. Maka kondisi orang yang seperti ini ada dua model:

* Perkara dunia yang menjadi tujuannya ternyata ia tujukan untuk amalan akhirat. Contohnya seseorang yang menjadi imam dengan niat untuk memperoleh upah imam, lantas ia niatkan upah tersebut untuk menjalankan amal sholeh, seperti untuk berbakti kepada kedua orangtuanya, atau agar bisa bersedekah pada fakir miskin, dsb. Maka dzohirnya ia sama dengan model yang (1) di atas, yang memiliki tujuan ganda tapi seluruhnya merupakan tujuan akhirat. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Yang mustahab/disunnahkan adalah seseorang mengambil (upah) untuk bisa berhaji, bukan berhaji untuk mengambil upah. Hal ini berlaku bagi seluruh upah yang diambil dari amal sholeh. Barang siapa yang mencari rizki (mengambil upah) agar bisa belajar atau agar bisa mengajar atau untuk berjihad maka baik. Sebagaimana datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda:

مَثَلُ الَّذِيْنَ يَغْزُوْنَ مِنْ أُمَّتِي وَيَأْخُذُوْنَ أُجُوْرَهُمْ مَثَلُ أُمِّ مُوْسَى تُرْضِعُ ابْنَهَا وَتَأْخُذُ أَجْرَهَا

“Permisalan orang-orang yang berperang (berjihad) dari umatku dan mengambil upah mereka (gonimah dan lain-lain -pen) seperti ibunya nabi Muasa yang menyusui anaknya lalu mengambil upahnya” (Dilemahkan oleh Syaikh Al-Albani)

Nabi menyamakan mereka (para mujahid) dengan seseorang yang melakukan suatu pekerjaan karena suka dengan pekerjaan tersebut, sebagaimana ibunya Musa yang menyusui Nabi Musa. Hal ini berbeda dengan wanita penyusu sewaan… Adapun orang yang berbuat dalam bentuk amal sholeh agar bisa memperoleh rizki maka ini termasuk amalan dunia.

فَفَرْقٌ بَيْنَ مَنْ يَكُوْنُ الدِّيْنُ مَقْصُوْدَهُ وَالدُّنْيَا وَسِيْلَةً وَمَنْ تَكُوْنَ الدُّنْيَا مَقْصُوْدَهُ وَالدِّيْنُ وَسِيْلَةً

Maka berbeda antara seseorang yang agama merupakan tujuannya dan dunia hanyalah wasilah/perantara dengan seseorang yang dunia merupakan tujuan sedangkan agama adalah wasilah/perantaranya. Orang yang seperti ini dzohirnya ia tidak akan memperoleh bagian di akhirat” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 26/19-20)

* Perkara dunia yang menjadi tujuannya adalah tidak ia kaitkan dengan tujuan akhirat. Seperti contohnya ia hanya ingin memperoleh upah imam dalam rangka tujuan-tujuan duniawi murni, maka inilah yang mengurangi kesempurnaan pahala akhirat dan ibadah yang ia lakukan.

Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 25-10-1433 H / 12 September 2012 M

Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja

Artikel: www.firanda.com

×

 

Bismillah...

Klik kontak kami di bawah ini untuk mengobrol di WhatsApp

× Ada yang bisa kami bantu?