Oleh: Buldan Taufik Muhammad Fatah
Suatu hari Umar bin Khattab radhiallâhu ‘anhu hendak pergi umrah, ia berpamitan terlebih dahulu kepada baginda Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam. Nabi lantas berpesan kepadanya, “Wahai saudaraku, jangan lupakan aku dalam do’a-do’amu!” (hr. Tirmidzi)
Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam meminta kepada seorang shahabat –yang natabene lebih rendah kedudukannya daripada beliau– untuk mendo’akannya. Hal ini tiada lain menunjukkan kerendahhatian Sang Nabi, dan di sisi lain umat pun diajarkan untuk tidak lupa terhadap pemimpinnya walau hanya dengan sebuah do’a.
“Do’a adalah ibadah yang paling utama.” Demikian sabda Nabi dalam hadits riwayat Al-Hakim dengan sanad hasan. Keutamaan do’a ini –sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr dalam kitab Fiqh al-Ad’iyah wa al-Adzkar– dikarenakan beberapa hal, di antaranya;
- Do’a merupakan manifestasi ketundukkan dan pengakuan akan kelemahan diri di hadapan Allah Subhânahu wa Ta’âlâ.
- Do’a merupakan ibadah yang membawa seorang hamba kepada kekhusyuan, karena rasa butuhnya terhadap Allah menuntut demikian.
- Do’a menunjukkan sikap penyerahan diri kepada Allah dan pemercayaan penuh terhadap-Nya sebagai Dzat yang maha mampu memberikan apa yang diinginkan dan mencegah apa yang tak disukai.
Berdo’a kepada Allah seyogyanya tak hanya diperuntukkan untuk kebaikan diri sendiri, tapi juga kebaikan orang lain, hal ini sudah merupakan tuntutan ukhuwwah Islamiyah. Istimewanya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits: “Do’a yang paling cepat dikabulkan [oleh Allah] adalah do’a seseorang untuk orang lain di kala ketiadaan mereka.” (hr. Abu Dawud).
Para malaikat pun mengamini orang yang berdo’a untuk kebaikan saudaranya seraya berkata, “Semoga engkau pun memperoleh kebaikan yang sama dengan apa yang engkau minta untuk saudaramu itu.” (hr. Muslim).
Lebih utama lagi, apabila yang dido’akan itu adalah para pemimpin umat. Sebab, peran mereka untuk kemaslahatan orang banyak begitu strategis, sementara beban yang harus dipikul di pundak mereka sedemikian beratnya. Keluh kesah dan caci maki terhadap pemimpin yang tak kita sukai tingkah polah dan track record-nya, tidaklah berguna merubah keadaan menjadi lebih baik. Mendo’akan mereka adalah seutama-utamanya pilihan yang kerapkali luput dari lintasan pikiran.
Perhatikan perkataan seorang salaf, Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah, “Seandainya aku mempunyai do’a terbaik yang akan dikabulkan Allah, maka semuanya akan aku tujukan untuk kebaikan para pemimpin. Apabila do’a itu hanya untuk diriku sendiri, maka manfaatnya hanya untuk diriku saja, namun apabila kutujukan untuk para pemimpin, lalu mereka menjadi baik, maka negara dan rakyat semuanya akan merasakan manfaat dan kebaikannya.” (riwayat Abu Nu’aim dalam kitab Al-Hilyah)
“Jangan lupakan aku dalam do’a-do’amu!” Itu pesan dan harapan baginda Nabi dari seorang rakyat bernama Umar. Tak mustahil, do’a itu pula yang menjadi angan para pemimpin saat ini dari segenap rakyatnya. Sungguh, di sana ada manfaat berganda di kala kita mendo’akan para baginda (baca: para pemimpin). Wallahu a’lam…