BERIMAN KEPADA MUTASYAABIH DAN BERAMAL DENGAN MUHKAM[1]

Makna Muhkam Secara Etimologis[2]
Secara etimologis, Muhkam mempunyai dua arti: Pertama, menahan dan mengembalikan. Orang Arab mengatakan: حَكَمْتُ, أَحْكَمْتُ dan حَكَّمْتُ. Dari itu dibentuk kata حَاكِم artinya orang yang menahan kezaliman orang yang zalim.
Kedua, menyempurnakan. Orang yang menguasai satu keahlian dengan sempurna disebut حَكِيم. Dari itu pula kata الحُكْم diartikan ilmu dan pemahaman,[3] sebagaimana dalam firman Allah I:

يَا يَحْيَى خُذِ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ وَآتَيْنَاهُ الْحُكْمَ صَبِيّاً

“Hai Yahya, ambillah Al Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh. dan kami berikan kepadanya ilmu selagi ia masih kanak-kanak”. (Q.S. Maryam: 12)
Makna Mutasyaabih Secara Etimologis[4]
الشِّبْهُ dan الشَّبِيهُ artinya sama. Seperti kalimat: أَشْبَهَ الشَّيءَ berarti sama dengan sesuatu. Juga dalam kalimat: شَابَهَ الشَّيءُ الشَّيءَ artinya saling menyamai. Dalam Al-Qur’an Allah I berfirman:

وَهُوَ الَّذِي أَنشَأَ جَنَّاتٍ مَّعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفاً أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهاً وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ كُلُواْ مِن ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُواْ حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

“Dan dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya)”. (Q.S. Al-An’aam: 141)
Makna Muhkam dan Mutasyaabih Secara Terminologis
Dalam terminologi para ulama, Muhkam dan Mutasyaabih mempunyai dua makna: umum dan khusus.
Secara umum, Muhkam dan Mutasyaabih hampir memiliki makna yang sama, di mana Allah menerangkan bahwa Al-Qur’an secara keseluruhan adalah Muhkam, sebagaimana firman-Nya:

الَر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِن لَّدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ

“(Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu”. (Q.S. Huud: 1)
Muhkam dalam ayat ini berarti: sempurna dan baik. Benar dalam pemberitaannya, adil dalam perintah dan larangannya, fasih lafaznya dan jelas maknanya.[5]
Ibnu ‘Abbas t berkata: “Tidak dihapus oleh kitab apa pun sebagaimana dihapusnya kitab-kitab dan syari’at-syari’at yang lain.”
Qatadah berkata: “Artinya bahwa Allah I telah menyempurnakannya dengan tidak ada perbedaan dan pertentangan di dalamnya.”[6]
Di sisi lain, Allah I menjelaskan bahwa Al-Qur’an seluruhnya Mutasyaabih, sebagaimana firman-Nya:

اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَاباً مُّتَشَابِهاً مَّثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ

“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, Kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah”. (Q.S. Az-Zumar: 23)
Artinya semua sama indah, di mana Allah I menjadikan Al-Qur’an seluruhnya Muhkam, semuanya benar, tidak ada yang sia-sia dan main-main. Semuanya sama karena semuanya sama dalam kebenaran dan keindahan.[7]
Makna Muhkam dan Mutasyaabih Secara Khusus
Allah I berfirman:

uهُوَ الَّذِيَ أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ

“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat” (Q.S. Ali- ‘Imran: 7)
Dalam ayat ini makna muhkam berbeda dengan mutasyaabih
Selanjutnya kami akan sebutkan pendapat-pendapat yang paling populer tentang muhkam dan mutasyaabih.
Pendapat pertama: Muhkam adalah yang diketahui makna dan maksudnya, sementara mutasyaabih adalah yang hanya diketahui oleh Allah I, seperti waktu terjadinya hari kiamat dan keluarnya Dajjal. Ini adalah pendapat Jabir bin ‘Abdullah, asy- Sya’bi, Sufyan ats- Tsauri dan yang lainnya.
Pendapat kedua: Muhkam adalah yang mempunyai satu penafsiran saja, sedangkan mutasyaabih mungkin ditafsirkan dengan beberapa penafsiran.
Pendapat ketiga: Muhkam adalah yang berdiri sendiri dan tidak membutuhkan penjelasan, sedangkan mutasyaabih adalah yang membutuhkan pejelasan.[8]
Pendapat keempat: Muhkam adalah yang menghapus ayat sebelumnya, sedangkan mutasyaabih adalah yang dihapus oleh ayat setelahnya. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud, Qatadah, adh- Dhahhak, ar-Rabi’ dan as-Suddi.[9]
Sementara Ibnu Taimiyah[10] lebih cenderung memilih bahwa nasakh (penghapusan ayat) yang dimaksud di atas, adalah yang diisyaratkan oleh Allah I dalam firman-Nya:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ وَلَا نَبِيٍّ إِلَّا إِذَا تَمَنَّى أَلْقَى الشَّيْطَانُ فِي أُمْنِيَّتِهِ فَيَنسَخُ اللَّهُ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللَّهُ آيَاتِهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Dan kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat- nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Q.S. Al- Hajj: 52)
Dengan demikian bahwa muhkam adalah keseluruhan Al-Qur’an, sedangkan mutasyaabih adalah yang dibisikkan oleh setan kemudian Allah I menghapus dan menghilangkannya.
Dalil-dalil tentang Muhkam dan Mutasyaabih
Pertama, dari al-Al-Qur’an. Allah I berfirman:

هُوَ الَّذِيَ أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ

“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat” (Q.S. Ali- ‘Imran: 7)
Kedua, dari As-Sunnah. Rasulullah r bersabda:

“…إِنَّ الْقُرْآنَ لَمْ يَنْزِلْ يُكَذِّبُ بَعْضُهُ بَعْضًا بَلْ يُصَدِّقُ بَعْضُهُ بَعْضًا فَمَا عَرَفْتُمْ مِنْهُ فَاعْمَلُوا بِهِ وَمَا جَهِلْتُمْ مِنْهُ فَرُدُّوهُ إِلَى عَالِمِهِ”

“Sesungguhnya Al-Qur’an tidak turun untuk saling mendustakan, tetapi saling membenarkan. Maka laksanakanlah apa yang kalian ketahui, dan kembalikanlah yang kalian tidak ketahui kepada yang mengetahuinya.”[11]
Dalam hadits yang lain Rasulullah r bersabda:
“Kitab yang pertama turun dari satu pintu dan satu huruf, sedangkan Al-Qur’an turun dengan tujuh huruf, berupa larangan dan perintah, halal dan haram, muhkam dan mutasyaabih dan perumpamaan, maka halalkanlah yang halalnya, haramkan yang haramnya, laksanakan yang diperintahkannya, tinggalkanlah larangannya, ambilah pelajaran dari perumpamaannya, amalkan yang muhkam dan imani yang mutasyaabih dan katakanlah: “Kami beriman kepada semua yang datang dari Tuhan kami.”[12]
Dalam hadits ini ada penjelasan tentang mutasyaabih hakiki (sebenarnya), yang wajib diimani, dan ada pula penjelasan tentang mutasyaabih nisbi (tidak sebenarnya), yaitu yang wajib diimani sampai diketahui maknanya.
Ketiga, dari perkataan Salaf. Ibnu ‘Abbas mengomentari ayat di atas: “Beriman dan mengetahui yang muhkam, dan beriman kepada yang mutasyaabih walaupun tidak mengetahuinya, karena semuanya adalah dari Allah I”.[13]
Dari ‘Aisyah y dinukil pula komentarnya tentang ayat di atas: “Kemantapan mereka dalam ilmu adalah bahwa mereka beriman kepada yang mutasyaabih walau mereka tidak mengetahuinya”.[14]
Kemudian dalam firman Allah I:

الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلاَوَتِهِ أُوْلَـئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ 3

“Orang-orang yang Telah kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya”. (Q.S. Al-Baqarah: 121)
Al-Hasan menafsirkan: “Mereka mengamalkan yang muhkam dan mengimani yang mutasyaabih serta menyerahkan yang tidak mereka ketahui kepada yang mengetahuinya”.[15] Ini mencakup hakiki dan mutasyaabih nisbi.
Qatadah berkata: “Imanilah yang mutasyaabih dan amalkanlah yang muhkam“.[16]
Adh-Dhahhak berkata: “Kita mengamalkan yang muhkam dan mengimaninya dan mengimani yang mutasyaabih tapi tidak mengamalkannya, karena semua dari Tuhan kita”.[17]
Muhammad bin Ja’far bin az-Zubair dalam komentarnya terhadap ayat:

“وما يذكر إلا أولو الألباب”

Dia mengatakan: “Tidak bisa mengambil pelajaran dari yang seperti ini maksudnya adalah, tidak ada yang mampun mengembalikan penafsiran yang mutasyaabih kepada penafsiran yang muhkam, sehingga tersusun satu makna, kecuali ulul albab”.[18]
Ibnu Taimiyah berkata: “Banyak dari kalangan Salaf yang berkata bahwa yang muhkam adalah yang diamalkan, sedangkan yang mutasyaabih adalah yang diimani tapi tidak diamalkan”.[19]
Sikap Salaf terhadap Muhkam dan Mutasyaabih
Yang wajib bagi setiap orang adalah mengamalkan apa-apa yang jelas baginya, mengimani yang belum jelas baginya, mengembalikan yang muhkam kepada yang mutasyaabih, mengambil dari yang muhkam untuk menjelaskan dan menafsirkan yang mutasyaabih, agar makna keduanya selaras dan saling membenarkan satu sama lain, karena semuanya datang dari Allah I. Dan semua yang datang dari Allah I tidak ada yang berselisih atau bertentangan. Perselisihan dan pertentangan hanya ada pada yang datang dari selain Allah I. Inilah cara yang ditempuh oleh para Sahabat dan Tabi’in dalam berinteraksi dengan muhkam dan mutasyaabih.[20]
Ibnu Taimiyah berkata: “Yang penting dalam masalah ini adalah wajib menjadikan perkataan Allah I dan Rasul-Nya sebagai pokok, kemudian mentadabburi dan memikirkan maknanya… dan mengetahui apa-apa yang dimaksud oleh Al-Qur’an, kemudian menjadikan perkataan manusia yang mungkin sesuai atau bertentangan dengannya sebagai sesuatu yang belum pasti, bila yang mereka maksud itu sesuai dengan hadits Rasulullah r, maka harus diterima. Tapi bila yang mereka maksud itu bertentangan dengannya, maka harus ditolak”.[21]
Sikap Ahli Bid’ah terhadap Muhkam dan Mutasyaabih
Wajib diwaspadai cara ahli bid’ah dalam hal ini, karena mereka mempunyai dua cara dalam menolak: Pertama, menolak sunnah yang shahih dengan yang mutasyaabih dari Al-Qur’an atau As-Sunnah. Kedua, menjadikan yang muhkam seperti mutasyaabih, untuk dimentahkan maknanya.
Dalam ayat 7 surat Ali ‘Imran di atas disebutkan bahwa sikap orang-orang Mu’min yang mantap ilmunya terhadap yang mutasyaabih adalah mengimaninya dan mengembalikannya kepada Allah I. Sedangkan sikap orang-orang yang menyeleweng, yaitu orang-orang yang memendam penyakit hati, adalah mengikuti yang mutasyaabih dan menjadikannya dalil untuk pendapat mereka yang salah, untuk merusak dan menyelewengkan Al-Qur’an.[22]
Beberapa Contoh Mutasyaabih Yang Harus Dikembalikan kepada Yang Muhkam
Contoh pertama.
Orang-orang Jahmiyyah menolak nash-nash yang muhkam dan sangat jelas yang menerangkan bahwasannya Allah I memiliki sifat-sifat yang sempurna, seperti: ilmu; kekuasaan; keinginan; hidup; berbicara; mendengar; melihat; memiliki wajah dan dua tangan; marah; ridha; gembira; tertawa; kasih saying; bijaksana. Dan bahwasannya Allah I melakukan perbuatan, seperti: datang; turun ke langit dunia; dan lain-lain. Mengetahui kedatangan Rasul r dengan membawa berita tadi, dan berita yang dibawa dari Allah I adalah lebih penting daripada ilmu tentang shalat, shaum, haji, zakat dan mengharamkan kezaliman, perbuatan buruk dan berbohong. Sudah diketahui secara pasti bahwa Rasulullah r menyampaikan berita itu dari Allah I dan mewajibkan umat Islam untuk meyakininya, sebagai satu keharusan untuk menyempurnakan pondasi iman.
Orang-orang Jahmiyyah menolak itu semua akibat pemahaman yang keliru terhadap ayat-ayat yang muhkam berikut:

الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلاَوَتِهِ أُوْلَـئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan Melihat”. (Q.S. Asy-Syuuraa: 11)

هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيّاً

“Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan dia (yang patut disembah)?”. (Q.S. Maryam: 65)

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ

“Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa”. (Q.S. Al-Ikhlaas: 1)
Mereka membuat kesimpulan-kesimpulan yang keliru dan menyimpang sehingga ayat-ayat yang muhkam ini menjadi seolah-olah mutasyaabih.
Contoh Kedua
Orang-orang Jahmiyyah menolak nash-nash yang muhkam dan tidak bisa ditolak kebenarannya datang dari para rasul, tentang penetapan sifat ketinggian (عُلُوّ) Allah I di atas seluruh makhluk-Nya, dan bahwa Dia bersemayam di atas ‘arsy (singgasana)-Nya, akibat pemahaman yang keliru terhadap ayat-ayat berikut:

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

“Dan dia bersama kamu di mama saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. Al-Hadiid: 4)

وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ

“dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”. (Q.S. Qaaf: 16)

مَا يَكُونُ مِن نَّجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلَا أَدْنَى مِن ذَلِكَ وَلَا أَكْثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا

“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan dia berada bersama mereka di manapun mereka berada”.(Q.S. Al-Mujaadalah: 7)
Dengan ayat-ayat ini mereka berkilah dan membuat pemustahilan-pemustahilan, sehingga menolak nash-nash tentang ketinggian Allah I akibat pemahaman yang keliru.
Contoh Ketiga
Orang-orang Qadariyyah menolak nash-nash yang muhkam dan jelas tentang kekuasaan Allah I atas makhluk-Nya, dan bahwa apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi dan yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi, akibat pemahaman yang keliru terhadap ayat-ayat berikut:

مَنْ عَمِلَ صَالِحاً فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاء فَعَلَيْهَا وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ

“Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya”. (Q.S. Fushshilat: 46)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ كَفَرُوا لَا تَعْتَذِرُوا الْيَوْمَ إِنَّمَا تُجْزَوْنَ مَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini. Sesungguhnya kamu Hanya diberi balasan menurut apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. At-Tahriim: 7)
Mereka menafsirkan ayat-ayat di atas dengan tafsiran-tafsiran yang keliru, sehingga ayat-ayat yang muhkam ini dimasukkan ke dalam ayat-ayat mutasyaabih.
Contoh Keempat
Orang-orang Jabriyyah menolak nash-nash muhkam, yang membuktikan bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk berusaha sesuai keinginannya, akibat pemahaman yang keliru terhadap firman Allah I:

وَمَا تَشَاؤُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam”. (Q.S. At-Takwiir: 29)

مَن يَشَإِ اللّهُ يُضْلِلْهُ وَمَن يَشَأْ يَجْعَلْهُ عَلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ

“Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya[473]. dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya dia menjadikan-Nya berada di atas jalan yang lurus”. (Q.S. Al-An’aam: 39)
dan ayat-ayat lain yang semakna dengan kedua ayat di atas, kemudian mereka membuat penafsiran-penafsiran yang meyakinkan pengikutnya bahwa mereka tidak menolak ayat-ayat tersebut, lalu mereka memasukkannya ke dalam ayat-ayat mutassyaabih.
Contoh Kelima
Orang-orang Khawarij dan Mu’tazilah menolak nash-nash muhkam dan sangat jelas, tentang adanya syafa’at bagi orang-orang yang berbuat maksiat dan dikeluarkannya mereka dari neraka. Peolakan itu disebabkan pemahaman yang keliru terhadap ayat-ayat berikut:

فَمَا تَنفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ

“Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafa’at dari orang-orang yang memberikan syafa’at”. (Q.S. Al-Muddatstsir: 48)

رَبَّنَا إِنَّكَ مَن تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ

“Ya Tuhan kami, Sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, Maka sungguh Telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun”. (Q.S. Ali ‘Imran: 192)

وَمَن يَعْصِ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَاراً خَالِداً فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُّهِينٌ

“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan”. (Q.S. An-Nisa’: 14)
Dan mereka berbuat seperti perbuatan orang-orang yang disebut sebelumnya.
Contoh Keenam
Orang-orang Jahmiyyah menolak nash-nash muhkam dan sangat jelas tentang peristiwa melihatnya orang-orang mu’min kepada Allah I pada hari kiamat dan di dalam surga, akibat pemahaman yang keliru terhadap ayat-ayat berikut:

لاَّ تُدْرِكُهُ الأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأَبْصَارَ

Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia dapat melihat segala yang kelihatan” (Q.S. Al-An’aam: 103)

قَالَ لَنْ تَرَانِيْ

“Tuhan berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku”. (Q.S. Al-A’raaf:

وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْياً أَوْ مِن وَرَاء حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولاً فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ

“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang dia kehendaki. Sesungguhnya dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana”. (Q.S. Asy-Syuuraa: 51)
Lalu mereka menjadikan ayat-ayat yang muhkam ini sebagai ayat-ayat mutasyaabih, untuk kemudian mereka tolak semuanya.
Contoh Ketujuh
Penolakan terhadap nash-nash yang jelas dan tidak terhitung banyaknya, yang menetapkan perbuatan-perbuatan yang dikehendaki Allah I, seperti:

يَسْأَلُهُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ

“Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepadanya. setiap waktu dia dalam kesibukan”. (Q.S. Ar-Rahmaan: 29)

وَقُلِ اعْمَلُواْ فَسَيَرَى اللّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ

Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, Maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu”. (Q.S. At-Taubah: 105)

إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئاً أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila dia menghendaki sesuatu hanyalah Berkata kepadanya: “Jadilah!” Maka terjadilah ia”. (Q.S. Yaa-Siin: 82)

فَلَمَّا جَاءهَا نُودِيَ أَن بُورِكَ مَن فِي النَّارِ وَمَنْ حَوْلَهَا

Maka tatkala dia tiba di (tempat) api itu, diserulah dia: “Bahwa Telah diberkati orang-orang yang berada di dekat api itu, dan orang-orang yang berada di sekitarnya”. (Q.S. An-Naml: 8)

وَلَمَّا جَاء مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ

“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan kami) pada waktu yang Telah kami tentukan dan Tuhan Telah berfirman (langsung) kepadanya”. (Q.S. Al-A’raaf: 143)

وَإِذَا أَرَدْنَا أَن نُّهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُواْ فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيراً

“Dan jika kami hendak membinasakan suatu negeri, Maka kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, Maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan kami), Kemudian kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya”. (Q.S. Al-Isra’: 16)

الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا إِنَّنَا آمَنَّا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“Orang-orang yang berdoa: Ya Tuhan kami, Sesungguhnya kami telah beriman, Maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka,” (Q.S. Ali- ‘Imraan: 16)
Sabda Rasulullah r:

“يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا”

“Tuhan kita yang Maha Mulia dan Maha Tinggi turun setiap malam ke langit dunia.”[23]
Firman Allah I:

هَلْ يَنظُرُونَ إِلاَّ أَن تَأْتِيهُمُ الْمَلآئِكَةُ أَوْ يَأْتِيَ رَبُّكَ

“Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka) atau kedatangan Tuhanmu”. (Q.S. Al-An’aam: 158)
Sabda Rasulullah r:

“إِنَّ رَبِّي قَدْ غَضِبَ الْيَوْمَ غَضَبًا لَمْ يَغْضَبْ قَبْلَهُ مِثْلَهُ وَلَنْ يَغْضَبَ بَعْدَهُ مِثْلَهُ “

“Sesungguhnya Tuhanku pada hari ini sangat marah, tidak pernah marah seperti itu sebelumnya dan tidak akan marah seperti itu setelahnya.”[24]
Dan sabda Rasulullah I:

“فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ ( الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ) قَالَ اللَّهُ تَعَالَى حَمِدَنِي عَبْدِي”

“Apabila seorang hamba mengucapkan الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ , Allah mengatakan: “Hamba-Ku memuji-Ku.”[25]
Dan ribuan nash muhkam lainnya yang semakna mereka tolak, akibat pemahaman yang keliru terhadap firman Allah I:

فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَباً قَالَ هَـذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لا أُحِبُّ الآفِلِينَ

“Ketika malam Telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku”, tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam”. (Q.S. Al-An’aam: 76)
Contoh Kedelapan
Penolakan terhadap nash-nash muhkam yang sangat jelas dan banyak jumlahnya, yang menerangkan bahwa Allah I melakukan semua perbuatannya dengan hikmah dan tujuan yang mulia, juga seringkali Allah I menyebutkan alasan dalam syari’at dan taqdir-Nya. Tapi para penolak itu menolaknya akibat pemahaman yang keliru terhadap firman Allah I:

لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ

“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai”.(Q.S.Al-Anbiya’: 23)
Lalu mereka menjadikan ayat-ayat yang muhkam itu semua mutasyaabih.
Contoh Kesembilan
Penolakan terhada nash-nash yang shahih, jelas dan banyak jumlahnya, yang menunjukkan adanya sebab dan akibat dalam taqdir Allah I, di antaranya ayat-ayat berikut:

إِلَى اللّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعاً فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

“Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, Maka dia akan menerangkan kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan”.(Q.S. Al- Maa-idah: 105)

قُلْ أَمَرَ رَبِّي بِالْقِسْطِ وَأَقِيمُواْ وُجُوهَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ كَمَا بَدَأَكُمْ تَعُودُونَ

“Katakanlah: “Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan”. dan (katakanlah): “Luruskanlah muka (diri)mu di setiap shalat dan beribadahlah kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. sebagaimana dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali kepadaNya)”. (Q.S. Al-A’raaf: 29)

ذَلِكَ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيكُمْ وَأَنَّ اللّهَ لَيْسَ بِظَلاَّمٍ لِّلْعَبِيدِ

“(azab) yang demikian itu adalah disebabkan perbuatan tanganmu sendiri, dan bahwasanya Allah sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Nya”. (Q.S. Ali ‘Imran:: 182)

ذَلِكَ بِمَا قَدَّمَتْ يَدَاكَ وَأَنَّ اللَّهَ لَيْسَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ

“(akan dikatakan kepadanya): “Yang demikian itu, adalah disebabkan perbuatan yang dikerjakan oleh kedua tangan kamu dahulu dan Sesungguhnya Allah sekali-kali bukanlah penganiaya hamba-hamba-Nya”. (Q.S. Al-Hajj: 10)

ذَلِكَ بِمَا قَدَّمَتْ يَدَاكَ وَأَنَّ اللَّهَ لَيْسَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ

“Di hari Ini kamu dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan, Karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (Perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatNya”. (Q.S. Al-An’aam: 93)

ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اسْتَحَبُّواْ الْحَيَاةَ الْدُّنْيَا عَلَى الآخِرَةِ وَأَنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

“Yang demikian itu disebabkan Karena Sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang kafir”. (Q.S. An-Nahl: 107)

ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ

“Yang demikian itu adalah Karena Sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al Quran) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka”. (Q.S. Muhammad: 9)
Dan banyak lagi ayat lainnya, namun para penolak itu menolaknya akibat pemahaman yang salah terhadap firman Allah I:

أَفَمَن زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَناً فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَن يَشَاءُ وَيَهْدِي مَن يَشَاءُ

“Maka apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaitan) ? Maka Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya”. (Q.S. Faathir: 8)
dan firman Allah I:

فَلَمْ تَقْتُلُوهُمْ وَلَـكِنَّ اللّهَ قَتَلَهُمْ وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَـكِنَّ اللّهَ رَمَى

“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar”.(Q.S. Al-Anfaal: 17)
Juga dengan jawaban Rasulullah r kepada seorang laki-laki yang bertanya tentang ‘azl (mengeluarkan mani di luar vagina) saat bersetubuh dengan budak perempuannya:

“اعْزِلْ عَنْهَا فَإِنَّهُ سَيَأْتِيهَا مَا قُدِّرَ لَهَا”

“Lakukanlah ‘azl, tetapi akan terjadi padanya apa yang ditaqdirkan untuknya.”[26]
Sabda Rasulullah r lainnya:

“لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ “

“Tidak ada penularan penyakit dan tidak ada kemalangan karena benda.”[27]
Dan sabda Rasulullah r lainnya:

“أَرَأَيْتَ إِذَا مَنَعَ اللَّهُ الثَّمَرَةَ”

“Bagaimana seandainya Allah menahan buahnya?”[28]
Dalam hadits ini Rasulullah r tidak mengatakan bahwa yang menahan buah itu cuaca dingin dan hama yang biasanya menimpa buah, tapi hadits ini menunjukkan bahwa Allah I Yang berkuasa atas sebab dan mengaturnya, berkuasa untuk mencabut pengaruh sebab itu atau menetapkannya sesuai dengan kehendak-Nya, sebagaimana Allah I mencabut kekuatan panas pada api yang membakar Nabi Ibrahim u. Namun para penolak menjadikan dalil ini sebagai bagian dari mutasyaabih. Sungguh mengherankan! Bagaimana seorang yang meyakini adanya sebab akibat dan mengatakan bahwa Allah I yang menciptakan sebab itu, lalu mengatakan ada pencipta sebab selain-Nya?
Adapun firman Allah I dalam surat Al-Anfaal: 17, mereka tidak memahami ayat tersebut dengan benar, padahal ayat tersebut merupakan mu’jizat Nabi Muhammad r yang besar, dan pernyataan di dalamnya ditujukan kepada para Sahabat yang ikut dalam perang Badar secara khusus. Begitu pula tanah yang dikepal dan dilemparkan oleh Rasulullah r, disebarkan oleh Allah I sampai mengenai semua muka orang-orang musyrik, itu diluar kemampuan Rasulullah r. Inilah yang dimaksud bahwa Nabi r tidak melempar tapi Allah I yang melempar.
Begitu pula pembunuhan yang dinyatakan tidak dilakukan oleh para Sahabat, adalah pembunuhan yang tidak dilakukan langsung oleh tangan-tangan mereka, karena yang sebenarnya melakukan pembunuhan itu adalah tangan-tangan malaikat. Buktinya ketika ada seorang Sahabat berhadapan dengan seorang penunggang kuda dari pasukan musyrikin, tiba-tiba si penunggang kuda itu terjatuh di hadapannya karena pukulan malaikat.
Demikian pula dengan hadits tentang ‘azl, di dalamnya tidak ada pernyataan yang menggugurkan sebab akibat. Karena Allah I bila telah mentaqdirkan penciptaan anak, maka ada air mani yang terlebih dahulu masuk dan darinya diciptakan seorang anak. Maka tidak ada dalam As-Sunnah yang menunjukkan bahwa bersetubuh tidak berpengaruh dan bukan sebab terciptanya anak, atau anak itu akan tercipta baik seorang suami menyetubuhi istrinya maupun tidak, sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang yang mengingkari adanya sebab akibat.
Selanjutnya ada tiga cara manusia dalam menyikapi hubungan sebab akibat: Pertama, menafikan sebab secara keseluruhan. Kedua, menetapkan sebab dengan cara tidak berubah dan tidak bisa dicabut pengaruhnya dari akibat, juga tidak dihadang oleh sebab lain yang sama atau yang lebih kuat. Ini adalah pendapat para naturalis, peramal dan orang-orang yang meyakini kekekalan masa.
Ketiga, sikap para rasul dan diterima oleh indra, akal dan fitrah, yaitu meyakini bahwa sebab berpengaruh terhadap akibat, tetapi pengaruhnya mungkin dicabut atas kehendak Allah I dan mungkin ditolak oleh sebab lain yang sama atau lebih kuat. Seperti tertolaknya banyak sebab keburukan dengan tawakal, do’a, sedekah, zikir, istighfar, memerdekakan hamba dan silaturahmi. Sebagaimana tertolaknya sebab-sebab kebaikan oleh lawan-lawannya.
Contoh kesepuluh
Penolakan terhadap ayat-ayat yang muhkam tentang sifat-sifat Allah I di antaranya:

إِنَّ رَبَّكُمُ اللّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu dia bersemayam di atas ‘Arsy”. (Q.S. Al-A’raaf: 54)

وَلَوْ شِئْنَا لَآتَيْنَا كُلَّ نَفْسٍ هُدَاهَا وَلَكِنْ حَقَّ الْقَوْلُ مِنِّي

“Dan kalau kami menghendaki niscaya kami akan berikan kepada tiap- tiap jiwa petunjuk, akan tetapi telah tetaplah perkataan dari padaKu”. (Q.S. Al-Sajdah: 13)

قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِن رَّبِّكَ بِالْحَقِّ

“Katakanlah: “Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Quran itu dari Tuhanmu dengan benar”. (Q.S. An-Nahl: 102)

وَكَلَّمَ اللّهُ مُوسَى تَكْلِيماً

“Dan Allah Telah berbicara kepada Musa dengan langsung”. (Q.S. An-Nisa’: 164)
Ayat-ayat di atas ditolak karena pemahaman mereka yang keliru terhadap ayat-ayat berikut:

ذَلِكُمُ اللّهُ رَبُّكُمْ لا إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ فَاعْبُدُوهُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ

“Ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu, Maka sembahlah Dia; dan dia adalah pemelihara segala sesuatu”. (Q.S. Al-An’aam: 102)

إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ

“Sesungguhnya Al Quran itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia”. (Q.S. Al-Haaqqah: 40)
Padahal sebenarnya kedua ayat ini merupakan bukti kesalahpahaman mereka, karena sifat-sifat Allah I adalah bagian dari Zat-Nya, Allah I bukanlah nama untuk zat yang tidak memiliki pendengaran, penglihatan, kehidupan, perkataan dan ilmu, karena bila demikian, berarti Dia bukan Tuhan semesta alam.
Perkataan, ilmu, kehidupan, kekuasaan, kehendak dan rahmat Allah I adalah bagian dari Zat yang ditunjukkan oleh nama-Nya, artinya bahwa Allah I dengan semua sifat-Nya adalah Sang Pencipta, dan segala sesuat selain-Nya adalah makhluk ciptaan-Nya. Adapun penyandaran Al-Qur’an kepada Rasul, adalah untuk menunjukkan bahwa beliau yang menyampaikannya, bukan yang membuatnya. Sebagai utusan, wajib menyampaikan perkataan yang mengutusnya. Seandainya yang mengutus itu tidak mempunyai pembicaraan yang akan disampaikan oleh utusannya, berarti dia bukan utusan. Dari itu banyak dari kalangan Salaf yang berkata: “Siapa yang mengingkari bahwa Allah I berbicara, berarti ia mengingkari risalah semua rasul, karena hakikat risalah mereka adalah menyampaikan pembicaraan Allah Yang mengutus mereka”.
Orang-orang Jahmiyyah dan pendukung-pendukungnya menolak nash-nash muhkam akibat pemahaman yang keliru, kemudian mereka jadikan nash-nash muhkam itu sebagai mutasyaabih, dan selanjutnya mereka menolak semua nash, sehingga mereka tidak meyakini bahwa Allah I berbuat, sebagaimana mereka tidak meyakini bahwa Allah I berbicara. Mereka beranggapan bahwa Allah tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak bisa berbicara. Di mata mereka, perbuatan dan pembicaraan Allah I itu merupakan makhluk yang terpisah dari zat-Nya.
Contoh Kesebelas
Allah I dan Rasul-Nya mengabarkan bahwa orang-orang mu’min akan melihat Allah I dengan jelas, seperti matahari di siang bolong dan bulan di malam purnama. Yang dipahami oleh umat manusia, dengan berbagai bahasanya dan pemahamannya, bahwa yang dimaksud dengan melihat di sini adalah melihat secara berhadapan, antara yang melihat dan yang dilihat ada jarak tertentu, tidak terlalu jauh sehingga menyulitkan penglihatan dan tidak terlalu dekat sehingga tidak memungkinkan dilihat.
Ada kemungkinan mereka melihat Allah I di bawah mereka, atau di belakang mereka, atau di depan mereka, atau di sebelah kanan mereka, atau sebelah kiri mereka, atau di atas mereka. Semua kemungkinan itu tidak benar kecuali yang terakhir, bahwa mereka melihat Allah I di atas mereka. Hal ini didukung oleh hadits yang diriwayatkan oleh Jabir t dalam Musnad dan lainnya:
“Ketika penghuni surga sedang menikmati nikmat yang dianugerahkan kepada mereka, tiba-tiba sinar memancar menerangi mereka, lalu mereka mengangkat kepala. Ternyata Allah Yang Maha Perkasa melihat dari atas mereka, seraya berkata: “Wahai para penghuni surga! Keselamatan untuk kalian”. Kemudian Rasulullah r membaca ayat:

سَلَامٌ قَوْلاً مِن رَّبٍّ رَّحِيمٍ

“(kepada mereka dikatakan): “Salam”, sebagai Ucapan selamat dari Tuhan yang Maha Penyayang”. (Q.S. Yaa-Siin: 58)
Kemudian Dia menghilang dari pandangan mereka, meninggalkan rahmat dan berkah-Nya di tempat-tempat mereka.”
Tidak akan sempurna pengingkaran terhadap ketinggian Allah I kecuali dengan mengingkari peristiwa melihat kepada-Nya. Dari itu orang-orang Jahmiyyah bersikukuh dengan prinsip mereka dalam seluruh masalah, sehingga mereka menafikan dua hal (ketinggian Allah dan melihat kepada-Nya). Sedangkan Ahlus- Sunnah membenarkan dan meyakini keduanya. Sementara orang-orang yang meyakini peristiwa melihat Allah I tetapi menafikan ketinggian-Nya di atas makhluk-Nya, berada posisi yang serba salah, tidak ke sana dan tidak ke mari.
Inilah beberapa macam dari dalil-dalil naqli yang muhkam, yang bila dipaparkan satu-persatu, pasti terkumpul seribu dalil yang menunjukkan tingginya Allah I di atas makhluk-Nya, dan bahwa Dia bersemayam di atas singgasana-Nya. Tetapi orang-orang Jahmiyyah menolak semua itu dan membantahnya dengan didasari pemahaman keliru terhadap firman Allah I:

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

“Dan dia bersama kamu di mama saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. Al-Hadiid: 4)

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ

” Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa”. (Q.S. Al-Ikhlaas: 1)

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan Melihat”. (Q.S. Asy-Syuuraa: 11)
Kemudian mereka menolak semua dalil dengan cara menonjolkan yang mutasyaabih di atas yang muhkam, kemudian membantah yang muhkam dengan yang mutasyaabih, kadang mereka lakukan itu untuk mempertahankan yang salah, dan kadang untuk mengelak dari kebenaran.
Orang yang memiliki sedikit pengetahuan pun, pasti tahu bahwa tidak ada nash yang lebih jelas maknanya dari pada yang terkandung dalam nash-nash ini. Maka apabila nash-nash ini tidak jelas maknanya, berarti syari’at Islam secara keseluruhan tidak jelas maknanya. Pernyataan ini menimbulkan anggapan bahwa membiarkan manusia tanpa syari’at adalah lebih baik daripada dengan syari’at, karena hanya akan membuat mereka berangan-angan dan memahami sesuatu yang tidak dimaksud, dan akan menjerumuskan mereka ke dalam keyakinan yang salah, tidak ada kejelasan bagi mereka mana yang benar.
Kita meminta kepada Allah I Yang memantapkan hati, agar senantiasa memantapkan hati kita di atas agama-Nya, dan kebenaran serta agama yang benar yang diemban oleh rasul-Nya. Dan semoga Allah tidak memalingkan hati kita setelah memberinya petunjuk. Sesungguhnya Dia Maha Dekat lagi Memenuhi permintaan.
Contoh Keduabelas
Orang-orang Syi’ah menolak nash-nash muhkam yang shahih nan jelas, yang diketahui secara pasti oleh semua umat baik yang berilmu maupun orang awam, tentang pujian dan sanjungan untuk Sahabat y, dan bahwa Allah I meridai mereka, mengampuni dosa-dosa dan memaafkan kejelekan-kejelekan mereka. Juga tentang kewajiban mencintai dan mengikuti mereka, memintakan ampun dan meneladani mereka. Semuanya disebabkan pemahaman yang keliru terhadap hadits:

“لَا تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ”

“Janganlah kalian kembali menjadi kafir setelah aku tidak ada, sebagian kalian membunuh sebagian yang lain.”[29]
Sebagaimana mereka menolak nash yang muhkam dan jelas tentang perbuatan, iman dan ketaatan para Sahabat y, akibat kekeliruan dalam memahaminya. Seperti halnya orang-orang Khawarij yang menolak nash-nash yang shahih dan muhkam tentang kesetiaan dan kecintaan terhadap orang-orang mu’min, walaupun melakukan dosa-dosa yang bisa dihapus dengan taubat yang benar, istighfar, kebaikan-kebaikan penghapus dosa, musibah-musibah penebus dosa, do’a orang-orang muslim, ujian di alam barzakh, saat berdiri di hari kiamat, syafa’at orang yang diberi izin oleh Allah, kesungguhan tauhid dan kasih sayang Allah Yang Maha Penyayang. Inilah sepuluh sebab terhapusnya dosa, bila kesepuluh sebab itu tidak mampu menebus dosa, maka mereka mesti masuk neraka, kemudian dikeluarkan.
Orang-orang Khawarij menolak semua itu akibat kekeliruan dalam memahami nash-nash tentang ancaman. Mereka menolak nash yang muhkam tentang perbuatan, iman dan ketaatan para Sahabat y, karena mengambil nash-nash yang mutasyaabih tentang perbuatan (kesalahan) para Sahabat y, yang mungkin saja terjadi karena ijtihad mereka, padahal mereka bermaksud melakukan ketaatan kepada Allah I. Dengan itu mereka mendapatkan satu pahala. Namun musuh-musuh mereka menjadikannya alasan untuk mengkafirkan dan menghalalkan darah dan harta mereka. Dan bila ternyata mereka tidak bermaksud demikian, berarti mereka telah berdosa, tetapi mereka memiliki kebaikan, taubat dan lainnya, yang mungkin menghapus dosa tersebut.
Orang-orang Khawarij dan orang-orang Syi’ah bersama-sama menolak nash-nash yang muhkam dengan yang mutasyaabih, lalu mereka mengkafirkan dan memerangi para Sahabat y dengan tujuan untuk membunuh orang-orang yang beriman. Tapi di saat yang sama, mereka membiarkan para penyembah berhala.
Alhasil, kerusakan dunia dan agama terjadi karena mendahulukan yang mutasyaabih di atas yang muhkam dan mendahulukan akal di atas syari’at, serta mendahulukan hawa nafsu di atas petunjuk. Semoga Allah I memberi taufiq kepada kita.[30]


[1] . Makalah ini merupakan terjemahan bebas dari kitab al-Mukhtashar al-Hatsîts, karya Syaikh ‘Îsâ Mâlullâh Faraj, (Kuwait: Gheras, 1428 H), hal. 93-108.
[2] . Lihat Lisaanul-‘Arab: XII/140-144.
[3] . Lihat Tafsiir Ibnu Katsiir: V/210.
[4] . Lihat Lisaanul-‘Arab: XIII/503-505.
[5] . Taisiirul- Kariim ar-Rahmaan: 376.
[6] . Tafsiirul Baghawi: III/372.
[7] . Tafsiirul Baghawi: III/378.
[8] . Lihat al-‘Uddah fi Ushuulil- Fiqh, Abu Ya’la: II/684-685.
[9] . Lihat al-Fiqh wal Mutafaqqih: I/59, Tafsiiruth- Thabari: II/172-173.
[10] . Lihat al-Musawwadah: 162.
[11] . Musnad Ahmad: X/230, no. 6702, dishahihkan oleh Ahmad Syakir.
[12] . H.R. Hakim dalam al-Mustadrak: I/533, Kitab Fadhaailul Qur’an, ia mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih, dan disetujui oleh adz-Dzahabi.
[13] . Al-Itqaan, as-Suyuthi: II/4 dan Tafsiiruth- Thabari: III/186.
[14] . Al-Itqaan, as-Suyuthi: II/4.
[15] . Tafsiiruth- Thabari: I/520.
[16] . Tafsiiruth- Thabari: III/185.
[17] . Ibid
[18] . Ibid.
[19] . Majmu’ Fataawaa: XVII/386.
[20] . Lihat Majmu’ Fataawaa: XVII/386 dan I’laamul Muwaqqi’iin: II/294.
[21] . Lihat Majmu’ Fataawaa: XIII/145.
[22] . Lihat Taisiirul Kariim ar-Rahmaan: I/357-358.
[23] . H.R. Bukhari dan Muslim
[24] . H.R. Bukhari dan Muslim.
[25] . H.R. Muslim dan an-Nasa-i.
[26] . H.R. Muslim
[27] . H.R. Bukhari dan Muslim
[28] . H.R. Bukhari dan Muslim
[29] . H.R. Bukhari dan Muslim.
[30] . I’laamul Muwaqqi’iin: II/294-304.

×

 

Bismillah...

Klik kontak kami di bawah ini untuk mengobrol di WhatsApp

× Ada yang bisa kami bantu?