MEMANDANG FIQIH SECARA UTUH
Oleh: Ust. Ade Hermansyah, Lc

Ada dua kelompok umat islam yang mempunyai pandangan berbeda terhadap fiqh. Pertama, kelompok yang beranggapan bahwa fiqih adalah hukum Allah yang tidak boleh ditentang atau dilanggar, orang yang melanggar fiqh berarti melanggar hukum Allah.
Kedua , kelompok yang beranggapan bahwa fiqih hanyalah hasil pemikiran ulama yang sangat tergantung kepada keinginan dan kepentingan ulama yang menghasilkannya, tidak ada hubungannya dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Kedua anggapan yang sangat berbeda ini dilatarbelakangi oleh pemahaman yang tidak utuh, juga bertolak dari dua pangkal yang berbeda sehingga tidak bisa bertemu di satu titik temu.
Mudah-mudahan tulisan ini bisa menjadi penyambung dari mata rantai yang terputus atau belum terjangkau oleh kedua jalan pemikiran di atas.
Pengertian Fiqih
Menurut bahasa, Fiqh ( فقه ) adalah bentuk masdar dari kata kerja : فقه يفقه yang berarti memahami. Sedangkan menurut istilah adalah :

العلم بالأحكام الشرعية المتعلقة بأعمال المكلفين المكتسـبة من أدلتها التفصيلية

Ilmu tentang hukum-hukum syari’ah yang berkenaan dengan perbuatan para mukallaf yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Sumber-sumber Hukum dalam Fiqh
Dalam definisi fiqih di atas disebutkan bahwa hukum-hukum itu diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Yang dimaksud dengan dalil-dalil yang terperinci adalah :
1. Nash-nash Al-Qur’an
2. Sunnah.
Kedua dalil ini adalah sumber utama dalam pengambilan hukum-hukum fiqih.
3. Ijma’ yaitu kesepakatan seluruh umat Islam (dalam hal ini para ulamanya) atas suatu hukum masalah. Dijadikannya Ijma’ sebagai sumber hukum didasarkan kepada dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasul yang menyatakan bahwa tidak mungkin seluruh umat Islam bersepakat melakukan kesalahan, di antaranya Firman Allah I :

” وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ ” ( البقرة : 143 )

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia. “ (Al-Baqarah 143)
Dalam ayat di atas Allah I menegaskan bahwa umat islam adalah umat yang adil dan pilihan, maka tidak mungkin mereka bersepakat untuk melakukan kesalahan atau kesesatan.
Dan sabda Rasulullah r:

” سَأَلْتُ الله I أَنْ لَا تَجْتمَعَ أُمَّتِي عَلَى ضَلَالَةٍ فَأَعْطَانِيهَا ( رواه أحمد والطبراني )

“ Aku meminta kepada Allah I agar umatku tidak bersepakat atas kesesatan, maka Allah memberikannya kepadaku “ (H. R. Ahmad dan Thabrani)
4. Ijtihad yang berdasarkan kepada Al-Qur’an dan Sunnah, diantaranya Qiyas.
Tentang ijtihad ini, marilah kita perhatikan hadits berikut :

“أَنَّ رَسُولَ الله r بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ، فَقَالَ: كَيْفَ تَقْضِي؟ فَقَالَ: أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْيَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ ؟ قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُولِ الله r ، قَال:َ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ الله ؟ قَال:َأَجْتَهِدُ رَأْيِي. قَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللهِ ( رواه أحمد وأبو داود والترمذي )

“Bahwasanya Rasulullah r mengutus Mu’adz ke Yaman. Rasulullah r bertanya kepadanya “Dengan apa engkau menghakimi ?”
Mu’adz t menjawab : “ Dengan apa yang ada di Kitabullah “
Rasulullah r bertanya lagi: “ Apabila engkau tidak mendapatkannya dalam Kitabullah ? “
Mu’adz t menjawa : “ Dengan Sunnah Rasulullah r “
Rasulullah r melanjutkan pertanyaannya: “ Apabila engkau tidak mendapatkannya dalam Sunnah Rasul ?”
Mu’adz t : “ Aku akan menggunakan pendapatku (Ijtihad) “
Kemudian Rasulullah r berkata: “Segala puji bagi Allah Yang telah memberikan kebenaran (taufiq) kepada utusan Rasulullah “ ( H. R. Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi )
Dalam hadits di atas kita lihat Rasulullah r mengucapkan Alhamdulillah sebagai tanda syukur atas kebenaran yang diberikan kepada Mu’adz t, artinya Rasulullah r menyetujui apa yang akan dilakukan oleh Mu’adz t, yaitu berijtihad setelah tidak mendapatkan hukum yang jelas dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, dan mustahil bagi Rasulullah r untuk menyetujui sesuatu yang salah.
Perlu diingat bahwa dijadikannya Ijtihad sebagai sumber hukum, tidaklah berarti bahwa Al-Qur’an dan Sunnah belum lengkap, namun yang dimaksud adalah bahwa bila ada permasalahan-permasalahan baru dalam kehidupan yang hukumnya tidak secara tegas didapatkan dari Al-Qur’an dan Sunnah, maka diperlukan satu usaha keras untuk meneliti ayat-ayat dan hadits-hadits lebih mendalam sehingga ditemukan satu kesimpulan hukum atas permasalahan tadi, baik dengan cara melihat hukum atas permasalahan semisal (disebut Qiyas), atau dengan cara melihat mashlahat dan madharat yang selalu dijaga oleh syari’at Islam, atau dengan cara lainnya sesuai dengan methode ilmiah yang dilakukan oleh para ulama. Usaha inilah yang disebut Ijtihad.
Dengan demikian, tidaklah ijtihad itu terlepas dari Al-Qur’an dan Sunnah, karena tidak ada ijtihad yang tidak berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Maka apabila ada orang yang berijtihad tanpa berdasarkan kepada Al-Qur’an dan Sunnah, maka ijtihad itu adalah ijtihad yang bathil dan batal.
Kedudukan Fiqih dalam Syari’ah Islam
Fiqih adalah bagian dari syari’ah Islam yang maha sempurna, fiqih hanya membicarakan hukum-hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia yang lahirnya saja, sementara syari’ah Islam mengatur seluruh hukum yang bersangkutan dengan manusia baik lahir ataupun bathin.
Syari’ah Islam adalah ajaran yang diturunkan oleh Allah I kepada Nabi Muhammad r yang berdasarkan kepada wahyu Ilahi, sehingga mustahil bila ada kesalahan di dalamnya. Tidak demikian dengan fiqih, karena sebagian hukum-hukumnya diambil dari hasil pemikiran para ulama, sehingga tidak mustahil ada kesalahan dalamnya.
Lebih jelasnya, bisa dikatakan bahwa hukum-hukum dalam fiqih itu ada dua macam :
1. Hukum-hukum yang lebih kuat didasari oleh wahyu, sehingga tidak terlalu kuat pengaruh pemikiran ulama di dalamnya, seperti wajibnya shalat, atau haramnya zina adalah dua hukum yang langsung diambil dari Al-Qur’an dan Sunnah, dan ini tidak memerlukan ijtihad. Maka hukum-hukum yang termasuk dalam bagian pertama ini bisa dipastikan bahwa itulah bagian dari syari’ah Islam, barang siapa menentangnya berarti dia telah keluar dari Islam.
2. Hukum-hukum yang ijtihad di dalamnya lebih dominan, seperti hukum menyentuh perempuan, apakah membatalkan wudhu atau tidak? dalam masalah ini dan yang semisalnya para ulama berbeda pendapat sesuai dengan hasil ijtihad mereka masing-masing. Maka dalam hukum-hukum yang termasuk kepada bagian kedua ini boleh bagi seseorang untuk mengambil pendapat yang berbeda dengan orang lain.
Banyak di antara kita yang belum bisa membedakan kedua macam hukum ini, sehingga dengan mudah menganggap bahwa orang yang berbeda pendapat dengan mereka adalah salah.

Ruang Lingkup Fiqih

Bila kita lihat pembahasan dalam fiqih secara menyeluruh dan utuh, maka akan kita dapatkan bahwa fiqih Islam telah mencakup seluruh bidang kehidupan manusia dan menjelaskan hukum-hukumya dengan sempurna.
Lebih jelasnya, ruang lingkup fiqh Islam adalah sebagai berikut :
1. Hukum-hukum yang berkenaan dengan ibadah kepada Allah I (ibadah), seperti : shalat, zakat, shaum, haji, dan sebagainya.
2. Hukum-hukum yang berkenaan dengan masalah-masalah keluarga (Ahwal Syakhshiyyah), seperi : pernikahan, perceraian, warisan dan sebagainya.
3. Hukum-hukum yang berkenaan dengan hubungan antar manusia (Mu’amalah), seperti jual-beli, sewa-menyewa, pengadilan dan sebagainya.
4. Hukum-hukum yang berkenaan dengan masalah-masalah kepemimpinan (Siyaasah).
5. Hukum-hukum yang berkenaan dengan sangsi atas pelanggaran-pelanggaran (Jinaayah), seperti : hukuman atas pembunuh, pencuri, peminum khamr dan sebagainya.
6. Hukum-hukum yang berkenaan dengan hubungan antar negara, seperti hukum perang (jihad), damai dan sebagainya (Siyarl/’Alaqah Dauliyyah).
7. Hukum-hukum yang berkenaan dengan masalah akhlaq dan sopan santun (Akhlaq), seperti: berbuat baik kepada orang tua, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda dan sebagainya.
Dengan demikian lengkaplah sudah seluruh bidang kehidupan dijelaskan dalam fiqih Islam, baik itu kehidupan pribadi, rumah tangga, masyarakat dan dunia.
Sumber:

  1. Al-Fiqhul Manhajy DR. Musthofa Al-Khin dkk, Daarul Qalam Dimasyq cet. IV th. 2000
  2. Al-Madkhal li Diraasatsy Syari’ah Al-Islaamiyyah, DR. Abdul Karim Zaidan, Baghdaad th. 1969
  3. Taarikhul Fiqh Al-Islaamy, DR. Sulaiman Al-Asyqar Daar- An-Nafaais Ammaan th. 1991

Ushulul Fiqhil Islaamy, DR. Wahbah Az-Zuhaily, Daarul- Fikr Dimasyq th. 1986