MENYEIMBANGKAN PERASAAN TAKUT DAN HARAP
Seekor kuda bisa berlari kencang, bila terus dipecut. Dia lari lebih kencang lagi, bila yang dituju adalah sebuah padang rumput.
Kuda itu merasa takut, bila tidak berlari kencang, ia akan mendapat pecutan lebih banyak lagi. Dan ketika tahu, bahwa yang dituju adalah padang rumput, dia lebih mengencangkan lagi larinya, dengan harapan bisa lebih cepat sampai di tujuan.
Sifat seperti kuda ini, terdapat pula dalam diri manusia. Hal itu dapat kita lihat dalam Al-Qur’an, Di mana Allah I Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, selalu menggandengkan ayat-ayat yang berisi ancaman siksa, dengan ayat-ayat yang berisi janji pahala. Ayat-ayat yang mengabarkan tentang Nar (neraka), digandengkan dengan ayat-ayat yang menerangkan tentang Jannah (surga). Kisah orang-orang yang durhaka di zaman dahulu, digandengkan dengan kisah orang-orang yang ta’at kepada-Nya.
Di antara sekian ayat yang menjelaskan penggandengan dua hal yang berlawanan itu adalah firman Allah I :
” غَافِرِ الذَّنْبِ وَقَابِلِ التَّوْبِ شَدِيدِ الْعِقَابِ ذِي الطَّوْلِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ إِلَيْهِ الْمَصِيرُ “(المؤمن :3)
“Yang Mengampuni dosa dan Menerima taubat lagi keras hukuman-Nya; Yang mempunyai karunia. Tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Hanya kepada-Nyalah kembali (semua makhluk).” (Al-Mu’min ; 3)
Itu semua, karena pada diri manusia ada kecenderungan baik, yang merupakan fithrah manusia, adapula kecenderungan jelek, akibat dorongan nafsu dan bisikan syaitan. Untuk memberi motivasi manusia, agar berbuat baik sesuai ajaran Allah, maka Allah I mengarahkan kecenderugan baik dengan janji-janji yang baik (pahala). Dan mengendalikan kecenderungan jelek, dengan ancaman-ancamanNya (siksa).
Kesempurnaan ibadah seorang hamba akan tercapai bila harapan terhadap pahala dari Allah dan perasaan takut akan siksaNya, berjalan seimbang tidak berat sebelah. Ibarat sebuah tiang yang ditarik oleh dua utas tali, sebelah kiri dan kanannya. Tiang itu akan tegak bila tarikan kedua tali itu sama kuatnya. Bila salah satunya lebih kuat, maka miringlah tiang itu.
Begitu pula seorang hamba. Bila rasa takutnya terhadap siksa Allah, lebih kuat dari harapannya atas pahala Allah, maka dia akan merasa terkungkung dengan kesalahan-kesalahannya, membuat dia lupa bahwa Allah I membuka pintu taubat baginya, kapan saja ia menyadari kesalahannya. Sebaliknya, bila harapannya akan kebaikan dan kemurahan Allah I lebih kuat dari rasa takut terhadap siksa-Nya, maka dia akan menganggap remeh setiap kesalahan yang ia lakukan.
Sebagian ulama berkata: “Yang beribadah kepada Allah karena takut saja, adalah orang khawarij. Dan yang beribadah karena berharap saja, adalah orang murjiah.”
Orang-orang khawarij adalah, orang-orang yang beranggapan bahwa, dosa sekecil apapun, akan merusak iman seseorang, atau menjadikannya kafir. Asal mula orang-orang khawarij adalah, orang-orang yang keluar dari pasukan Ali bin Abi Thalib, yang tidak menyetujuinya berdamai dengan pasukan Mu’awiyah, pada saat perang Shiffin. Mereka menganggap orang yang berbuat salah atau ma’siat, telah kufur kepada Allah. Dari itu, mereka menganggap ‘Ali telah kufur, karena menerima tawaran damai dari Mu’awiyah, yang juga mereka anggap telah kufur, karena tidak mau tunduk kepada Ali, sebagai khalifah yang sah. Akhirnya, mereka merencanakan pembunuhan terhadap Ali dan Mu’awiyah, juga ‘Amr bin ‘Ash. Namun hanya Ali yang bisa mereka bunuh.
Orang-orang Murjiah adalah, orang-orang yang mempunyai keyakinan, bahwa bila seseorang telah beriman (menyatakan iman), maka apapun ma’siat atau kesalahan yang dilakukannya, tidaklah mengurangi keimanan-nya. Seberat apapun kesalahan yang dilakukannya itu.
Seorang mu’min yang benar adalah, yang bisa menggabungkan perasaan takut dan harapan. Dengan satu keyakinan bahwa, iman bukan hanya angan-angan, tapi harus diwujudkan dalam kehidupan. Iman itu bertambah kuat, bila terus ditempa dengan amal shaleh dan ta’at. Dan menjadi lemah, bila dinodai dengan ma’siat dan perbuatan salah. Dibarengi dengan perasaan cinta (mahabbah) kepada Allah I, untuk menemukan kelezatan dan dan merasakan keni’matan, dari setiap ibadah yang dilaksanakan. Wallaahu A’lam.
Ade Hermansyah